Pangeran 4

133 41 15
                                    

Aku tahu aku sudah membuat keputusan yang bodoh, Inspektur.

Di lorong, dekat dengan ruang loker, aku menghakimi Anastasia tanpa tahu yang sebenarnya. Aku mempermalukan dia, memutuskan ikatan yang sudah kami jalin berbulan-bulan. Di tengah kerumunan yang mengelilingi kami, kulihat Anastasia menunduk, air matanya jatuh, menetes ke sisi sepatu. Pemandangan itu, sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya dulu. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang mau memberikan selembar tisu untuknya.

 “Tangisan palsu!” gerutu seorang murid perempuan di belakangku. Tak lama kemudian, banyak suara bisik-bisik bersahutan.

“Dia cuma pura-pura.”

“Kelihatan banget!”

“Aku juga bisa nangis bohongan kayak gitu.”

Kudengarkan dalam diam. Satu per satu suara masuk ke dalam kepalaku. Suara perempuan dan laki-laki yang membicarakan tentang Anastasia. Nada yang penuh dengan rasa benci, kecewa, jijik. Merendahkan. Bermacam-macam komentar. Namun dari semua itu, intinya tetap satu. Mereka tidak percaya dengan Anastasia. Tidak peduli seberapa kuat gadis itu menyangkalnya, tatapan sinis yang mereka berikan tidak akan berubah.

 
***
 

Seiring merenggangnya hubunganku dengan Anastasia, aku mulai menaruh perhatian pada Ella.

Gadis yang hidup menderita, tertindas, tidak berdaya di tangan keluarga tirinya. Sebagai seorang karakter utama, bukankah sudah tugasku untuk peduli pada Ella, Inspektur? Aku ingin menjaganya, melindungi senyum cerianya. Setidaknya di sekolah, aku ingin selalu ada di dekatnya, memastikan tidak akan ada hal buruk yang menimpa gadis itu.

Kuyakin, kalau Crown ada di posisiku, dia pasti akan melakukan hal yang sama. Super hero yang baik, pasti akan selalu melindungi yang lemah.

Andai saja aku dan Ella berada di kelas yang sama.

 Dibanding Alice dan Fairy, kurasa Ella itu sedikit lebih pendiam dari mereka. Aku jarang melihatnya di luar area kelas. Dia juga tidak masuk ke dalam kegiatan ekstrakurikuler mana pun. Selain gosip tentang kekerasan keluarga yang dialaminya, aku tidak pernah mendengar gosip-gosip lain tentang Ella.

Satu-satunya kesempatan aku bisa menemuinya adalah saat jam makan siang. Jam yang sama seperti saat aku sering menemui Anastasia di perpustakaan dulu. Bedanya, Ella berada di kantin, bersama dengan Alice dan Fairy.

Mereka bertiga benar-benar terlihat seperti sekelompok sahabat yang akrab satu sama lain, Inspektur. Aku selalu melihat mereka berbincang sambil memasang senyum. Ketika aku mendekat dan menghampiri meja mereka yang ada di tengah kantin, tak jarang juga aku mendengar suara tawa dari mereka bertiga.

“Hai!” Aku ingat saat pertama kali aku menyapa mereka.

Mereka membalas senyumku, lalu memperbolehkan aku duduk di meja yang sama.

Aku duduk tepat di hadapan Ella. Dia memegang roti keju murah yang dijual di kantin, mulutnya mengunyah tanpa suara. Di meja, ada segelas es lemon yang masih penuh, es batu berbentuk kubus perlahan mencair di dalamnya. Canggung. Aku tidak tahu kenapa. Alice dan Fairy melirikku, tapi mereka langsung memalingkan muka ketika aku menoleh.

Ada sesuatu yang mereka tutupi. Seharusnya aku berpikir seperti itu. Sayangnya, waktu itu aku hanya berfokus pada Ella, Inspektur.

Melihat Ella yang sedang makan, mengingatkanku pada Anastasia. Di perpustakaan dulu, gadis itu selalu membawa sekotak besar penuh sandwich. Roti isi yang kelihatan enak, penuh dengan daging dan sayuran segar. Jauh berbeda dengan apa yang di makan Ella.

Ibu tiri itu pasti tidak membuatkan bekal untuk Ella, pikirku. Wanita itu hanya sayang pada putri kandungnya sendiri. Gosip itu mungkin benar.

“Kau harus makan makanan yang sehat, tahu.” Dengan senyum hangat, aku memulai pembicaraan.

Ella mengangkat kepalanya, menatapku dari balik sudut mata. Senyumnya kecil, tapi penuh arti.

Dengan garpu dan sendok, kubagi salad makan siangku menjadi dua bagian sama rata. Satu tetap di piringku, sedangkan yang satu bagiannya lagi kuletakkan di piring Ella. Aku tahu mungkin itu terlalu tiba-tiba. Seharusnya aku bertanya atau berbasa-basi terlebih dahulu, bertanya, menawarkan. Bukannya langsung bertindak seperti itu.

“Apa yang kau lakukan, Pangeran?” Wajar saja rasanya kalau Ella memprotes. Dia dengan wajah memerah dan bola mata yang menyorot tajam. Salah tingkah.

“Tidak perlu sungkan-sungkan,” kataku. “Aku cuma mau berbagi. Itu saja.”

Di sebelahku, kudengar Fairy tertawa kecil. “Wah, Pangeran baik banget, deh!”

“Kebetulan kan, Ella. Kau tadi pagi belum sarapan,” sahut Alice, senyumnya mengembang lebar. “Kau butuh lebih dari roti keju biar lebih semangat di kelas habis ini.”

“Tapi aku....” Ella menggeleng, menatap piring di hadapannya. “Aku tidak bisa menerima ini, Pangeran.”

“Ibu tirimu yang kejam itu tidak memberimu cukup makanan sewaktu di rumah, kan?”

“Tapi....”

“Sudah, terima saja.”

Ella merengut, alisnya kelihatan hampir menyatu ketika dia melirik kedua temannya.

“Itu pemberian Pangeran, lho!” ujar Alice, setelah dia meminum segelas milkshake-nya sampai habis.

Fairy mengangguk, menyetujui. “Kau nggak boleh menyia-nyiakan kebaikan orang lain,” katanya.

Setelah menghela napas berat, Ella akhirnya mulai menerimanya. Dia menghabiskan roti kejunya yang ada di tangannya terlebih dulu, meminum es lemonnya hingga tersisa setengah gelas, lalu dengan garpu dan sendok yang tersedia, dia mulai memakan salad sayur yang kuberikan padanya itu dengan perlahan.

Sejak hari itu, kurasa hubungan kami menjadi semakin dekat, Inspektur.

Dibanding dengan teman-teman sekelasku, aku jadi lebih sering duduk bersama Ella ketika kami tidak sengaja bertemu di kantin. Dengan Alice dan Fairy yang ada di sebelah kami, kami sering membicarakan banyak hal. Mulai dari menu makanan yang sehat, pelajaran di kelas, guru-guru yang menyebalkan, dan yang pasti, tentang kondisi kesehatan Ella.

“Ibu tirimu itu tidak mengurungmu di gudang lagi, kan?”

“Luka lebam karena ulah Drizella kemarin sudah sembuh?”

“Kau tidak apa-apa?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu kutanyakan pada Ella, Inspektur. Aku peduli padanya. Setelah Anastasia kuanggap sebagai antagonis, sosok heroine yang cocok untukku hanyalah Ella. Apa pun yang terjadi, tidak akan kubiarkan Ella terluka.

“Kau tidak perlu khawatir, Pangeran.” Ketika dia menjawab seperti itu, aku merasa jauh lebih lega, Inspektur. Suara dan senyumnya, kalau diingat-ingat lagi, memang terasa menenangkan.

Aku ingin dia.

Aku mau lebih dekat dengannya. Di malam yang penuh dengan cahaya bulan, aku ingin menggenggam tangan gadis itu, membawanya melewati piano dan taman bunga. Aku ingin berdansa bersamanya. Satu malam yang hanya akan diisi oleh kami berdua. Dengan keyakinan yang kuat, aku berniat untuk meminta Ella untuk menjadi prom date-ku, Inspektur.

Itu akan menjadi malam yang indah, pikirku.

Namun, sekitar sebulan sebelum acara itu dimulai, aku mendapatkan mimpi buruk.

Tragedi seperti itu seharusnya tidak boleh terjadi, Inspektur.

Anastasia tidak boleh mati.

 
***

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang