Lady Tremaine 5

279 79 6
                                    

Kejadian itu terjadi belum lama ini. Sebulan sebelum pesta dansa sekolah.

Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, Anastasia terkulai lemah di pinggir bath-up, air yang memerah, silet kecil terlepas dari genggaman tangannya. Anastasia, putri saya yang sangat saya cintai, yang saya asuh penuh dengan kasih sayang.... tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, Anastasia akan melakukan hal senekat itu.

Anastasia yang saya kenal memang anak yang sedikit sensitif. Dia ceroboh, terlalu bersemangat, tapi akan menangis jika dibentak atau dimarahi. Seperti anak kecil, Anastasia memang begitu sejak dulu. Tidak bisa berbuat atau menerima perlakuan yang kasar.

Apa masalahnya? Ketika saya membawanya ke rumah sakit, saya mengira-ngira. Apa yang terjadi hingga Anastasia berniat untuk mengakhiri hidupnya?

Sewaktu Anastasia masih dalam kondisi kritis karena kekurangan darah, Drizella menceritakan semuanya kepada saya.

Drizella bilang, Anastasia dirundung oleh teman-teman sekelasnya, begitu juga dengan Drizella. Mereka sering dilempari dengan bola-bola kertas selama jam pelajaran, sering dijegal saat sedang berjalan. Hinaan dan cacian juga sudah cukup sering masuk ke telinga mereka. Meja kedua putri saya itu pun juga penuh dengan kata-kata kasar.

“Anastasia sering menangis di toilet,” kata Drizella. “Waktu Alice sama Fairy, teman Ella, datang, terus mengganggu kami berdua.”

Anak-anak bodoh yang percaya dengan kata-kata khayalan Ella.

Bisa saya bayangkan, Ella bercerita di tengah kelas, bergosip di mejanya. Teman-teman anak itu mengelilinginya dengan telinga mereka yang memanas, mendengarkan setiap kebohongan Ella. Kebohongan tentang Anastasia dan Drizella yang memperlakukan Ella dengan kejam di rumah. Bisa saya bayangkan, rasa simpati sekaligus benci yang mulai tertanam di mata murid kelas itu. Simpati kepada Ella. Benci kepada kedua putri saya.

“Aku sama Anastasia sudah bilang kalau itu Cuma bohong, Ma!” Drizella menjelaskan. “Tapi anak-anak di kelas itu nggak ada yang percaya. Mereka lebih percaya sama Ella. Apa lagi si Alice sama si Fairy itu, mereka yang nggak tahu apa-apa, malah ngebantu Ella buat nyebarin gosip-gosip itu.”

Air mata Drizella menetes sewaktu bercerita. Dengan sapu tangan, saya usap jejak basah yang membekas di pipinya itu. Di dalam kamar rawat Anastasia, saya peluk kedua putri saya. Drizella yang gemetar di dalam tangisannya. Lalu Anastasia yang masih terlelap dalam mimpi. Semua yang sudah mereka lalui selama ini, saya bisa merasakannya. Ella sudah kelewatan.

Anda mungkin akan menganggap saya bodoh karena saya baru menyadarinya akhir-akhir ini, menanggapi masalah ini dengan serius. Ella sudah berbohong sejak lama, saya seharusnya sudah menegurnya dari dulu. Saya seharusnya bisa bersikap sedikit keras pada gadis itu. Saya tahu, saya ini memang ibu yang bodoh. Membiarkan anak sendiri menjadi korban kebohongan.

Konyol rasanya. Dulu saya pernah berpikir kalau Ella akan berubah. Berharap anak itu akan sadar dan meluruskan sendiri kebohongan yang dia buat. Meluluhkan hati Ella? Bodoh. Rasanya seperti seorang anak kecil yang berharap akan bertemu dengan peri bunga di musim semi. Tidak mungkin. Ella sudah rusak dimakan kebencian. Dia bukan gadis yang baik, Inspektur.

Beruntung, besok paginya, Anastasia sudah sadarkan diri. Saya ada di sampingnya saat itu. Bulu mata Anastasia yang tampak rapuh, gemetar mengikuti kelopak matanya yang mulai terbuka. Perlahan-lahan, dengan pandangan yang masih sayu, putri kesayangan saya itu menoleh, memanggil nama saya dengan suara lirihnya.

“Tidak apa-apa,” bisik saya, menangkup tangan gadis itu yang terasa dingin di kulit. “Semua akan baik-baik saja. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”

Putri saya itu tersenyum kecil. Bibir pucatnya terbuka, mengatakan kata maaf tanpa suara.

Saya tidak bisa lagi menahan air mata. Saya senang Anastasia bisa sadar dari komanya. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada saya, kalau putri saya itu pergi, menyusul ayahnya yang sudah menjadi bintang di langit sana. Dengan air mata kebahagiaan yang masih menetes, saya bergegas ke pintu, memanggil siapa pun dokter atau suster yang ada di lorong.

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang