Aku nggak mau.
Aku nggak mau datang ke prom night itu, Inspektur. Kalau tahu akhirnya akan jadi seperti ini, mungkin lebih baik aku tinggal di rumah saja, menonton televisi di ruang tengah, semangkuk popcorn mentega di pangkuan, dan film horor dengan volume super besar. Aku akan meringkuk di atas sofa, di dalam selimutku yang hangat. Sendiri. Lebih baik begitu.
Aku nggak mau berada di tempat itu. Aku nggak mau melihat Ella memeluk Pangeran, melihat senyum mereka yang penuh perasaan. Di bawah lampu gantung mewah dan alunan piano yang berdenting merdu, Ella dengan gaun bagus dan sepatu kacanya, bersama dengan Pangeran yang kucintai. Nggak. Nggak boleh. Nggak. Aku nggak mau itu terjadi. Nggak, nggak, nggak, nggak.
Aku nggak mau, Inspektur!
Pangeran itu seharusnya milikku!
Aku yang pertama kali mengenalnya sebelum Ella. Aku yang menerima sebungkus tisu darinya. Aku yang lebih dulu akrab dengan Pangeran. Aku yang sering mengobrol dengannya di perpustakaan, menceritakan kisah-kisah sejarah padanya. Aku yang membuat Pangeran tersenyum. Aku. Aku. Aku. Aku. Aku yang seharusnya berdansa bersamanya. Aku. Bukan Ella.
Memangnya, Ella itu siapa?
Ella nggak lebih baik dari aku. Ella nggak lebih pintar, nggak lebih cantik. Yang cewek itu punya cuma kebohongan, cerita-cerita khayalan yang hanya ada di dalam kepalanya. Apanya yang disiksa? Apanya yang dikurung semalaman? Berpura-pura jadi korban seperti itu, apa sih maksudnya?
Cuma ingin cari perhatian?
Ingin jadi murid populer?
Atau... ingin Pangeran bersimpati kepadanya? Ingin dikasihani dan lebih dimanja oleh cowok itu?
Bodoh, bodoh, bodoh, bodoh!
Aku nggak tahan, Inspektur. Sewaktu aku mengurung diri di toilet malam itu, aku terus-terusan mengutuk Ella. Aku berharap kalau dia bukan saudaraku. Aku berharap kalau aku nggak tinggal serumah dengannya. Aku nggak mau melihat cewek itu lagi. Aku ingin dia pergi. Jauh.
Membahagiakan rasanya membayangkan hidup tanpa ada sosok bernama Ella. Keseharianku akan jadi jauh lebih menyenangkan. Aku nggak akan dijahili. Aku nggak perlu menangis setiap hari. Aku bisa tersenyum dengan puas, dengan Pangeran di sampingku, tanpa ada yang mengganggu kami. Hanya ada aku dan Pangeran. Nggak. Nggak ada Ella.
Dengan gaun merah yang kupakai, aku akan memeluk cowok kucintai itu di bawah sinar bulan. Begitu juga dia dengan jas bagusnya, akan menggandeng tanganku, membawaku bergerak, mengikuti alunan piano dan biola yang seolah terciptakan hanya untuk kami. Pesta yang nggak pernah selesai. Kue manis dan minuman yang nggak akan pernah habis. Aku dan Pangeran. Hanya kami.
Tanpa Ella.
Hidupku tanpa Ella akan terasa lebih sempurna.
Ella seharusnya nggak ada.
Di toilet lantai dua itu, aku menangis, Inspektur. Air mata membasahi gaunku. Maskara dan make up yang diriaskan Mama untukku jadi luntur. Nggak apa-apa, kupikir. Dari awal pun semua itu memang percuma. Aku nggak butuh gaun mewah itu. Aku nggak butuh make up. Apa gunanya itu semua kalau Pangeran tidak sekalipun melihat dan memperhatikanku.
“Wah, Anastasia, malam ini kau cantik banget!” Aku ingin Pangeran memujiku seperti itu. Aku ingin melihat wajahnya yang memerah, tersenyum malu-malu sewaktu meneliti penampilanku dari atas sampai bawah.
Cinta pertamaku itu... sia-sia.
Lagi-lagi, semua ini karena Ella. Ella, Ella, Ella. Semua gara-gara dia.
Aku benar-benar, ingin dia pergi. Menghilang. Mati....
Karena itu aku berniat untuk membunuhnya, Inspektur.
Saat lonceng menara berdentang, pertanda tengah malam, aku mendengar suara Ella. Cewek itu entah kenapa terbatuk-batuk. Mungkin karena kue manis atau minuman dari aula pesta. Aku nggak peduli. Tapi, saat itu aku melihatnya.
Aku yang baru saja keluar dari toilet, melihat Ella yang duduk di atas anak tangga yang paling bawah. Dia dengan gaun dan sepatu kacanya yang berhasil menarik perhatian Pangeran itu, entah kenapa terlihat... lebih rapuh, seolah sosok “Ella yang tersiksa” itu benar-benar nyata.
Menyebalkan. Benar-benar menyebalkan. Apa dia juga memasang aura seperti itu ketika dia mengajak Pangeran berdansa bersama? Menggunakan wajah sok sedihnya itu?
Nggak tahan. Rasanya sudah nggak tahan banget, Inspektur.
Ada pot keramik besar di sebelahku. Perhatianku tertuju pada benda itu, seperti dipanggil untuk mendekat. Pot itu penuh dengan tanah. Permukaannya keras dan dingin ketika kusentuh. Licin. Butuh tenaga untuk mengangkatnya.
Dengan pergelangan tangan yang masih nyeri, aku berusaha. Kutahan rasa sakit akibat percobaan bunuh diriku itu. Aku mencoba... mengarahkan potnya, tepat ke arah tubuh Ella yang berada di bawah.
Aku ingin mengenainya. Seperti bola-bola kertas yang dia dan teman-temannya lemparkan padaku, aku ingin pot itu juga melayang, meluncur tepat ke kepala Ella.
Saat itu, emosi menguasai diriku, Inspektur.
Rasa muakku karena terus-terusan dijahili di sekolah. Rasa benciku pada Ella karena dia sudah menyebarkan kebohongan tentangku. Rasa frustrasiku karena gagal bunuh diri. Rasa cemburuku karena melihat cewek itu berdansa dengan Pangeran. Rasa cintaku. Kenangan manis antara aku dan Pangeran. Semuanya seolah berkumpul menjadi satu, memenuhi pot. Mekar menjadi bunga.
Ella pantas mendapatkan itu semua, Inspektur.
Ella pantas untuk mati.
Ketika aku mendengar suara pot yang pecah dari lantai bawah, disusul dengan suara teriakan Ella, saat itulah aku tahu... aku berlari saking senangnya. Aku nggak akan melihat Ella lagi. Untuk selamanya.
***
Begitulah, Inspektur.
Apa kau puas dengan pengakuanku?
Aku sudah mengatakan yang sejujurnya. Nggak ada yang aku sembunyikan. Di permukaan pecahan pot itu, pasti masih ada sidik jariku.
Ya, aku mungkin lumayan pintar di dalam pelajaran akademis sekolah, nilai-nilaiku selalu di atas rata-rata. Tapi seperti yang kau tahu, aku kurang berpengalaman dalam... membunuh. Aku nggak punya rencana. Aku nggak punya persiapan.
Karena semuanya juga terjadi secara tiba-tiba. Aku sama sekali nggak ada niat untuk membunuh Ella sebelumnya.
Kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Kau juga sering dengar kalimat seperti itu kan, Inspektur? Mungkin, seperti itulah keadaanku.
Aku sedang dikuasai emosi, dan aku melihat Ella yang lengah.
Mungkin, kau bisa menganggapnya tidak sengaja.
Apa aku bisa mendapat keringanan masa tahanan jika aku mengaku seperti itu, Inspektur? Aku benar-benar nggak ingin dipenjara terlalu lama.
Karena jika aku terkurung di tempat seperti itu, berarti aku nggak bakal bisa melihat Pangeranku lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella in Wonderland [END]
Mystery / ThrillerCinderella si pembohong itu, memang pantas untuk mati. *** Seorang gadis remaja bernama Ella Tremaine ditemukan tidak bernyawa di area lobi belakang sekolah. Ada luka lebam yang membiru di lengan dan kakinya. Gaun yang dia pakai kotor terkena noda k...