Anastasia 1

293 66 10
                                    

Aku yang sudah membunuh Ella.

Maaf. Aku nggak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu, Inspektur. Rasanya gelap. Aku benci Ella, tapi sampai sekarang pun aku masih nggak menyangka... aku bisa melakukan hal sejahat itu padanya. Aku nggak... bermaksud....

Terima kasih atas tisunya, Inspektur. Maaf, aku nggak bisa berhenti menangis.

“Ceritakan pelan-pelan saja,” katamu?

Kau sangat baik, Inspektur. Aku lega sekali. Sebelum memutuskan untuk mengaku, aku sempat ketakutan. Aku pikir aku akan langsung dibawa ke kantor polisi, diborgol dan diseret ke penjara bawah tanah yang penuh dengan orang-orang jahat, orang-orang yang akan mengganggu dan menjahiliku setiap hari di dalam sel.

Kau nggak akan membawaku ke tempat seperti itu kan, Inspektur?

“Tidak. Tenang saja,” katamu? Apa kau benar-benar yakin tentang itu?

Aku pernah beberapa kali menonton film yang menceritakan kehidupan di penjara. Karakter utama yang baik hati, difitnah dan dituduh sudah melakukan tindak kejahatan. Dia dikurung dalam ruangan kecil bersama dengan para tahanan lain. Dipukuli, ditendang, jatah makanannya diambil, tidur di lantai yang keras dan dingin. Sendirian.

Dunia di dalam penjara itu... benar-benar... jauh dari kata “Wonderland”.

Aku mengaku seperti ini pun juga karena berharap akan mendapat keringanan hukuman. Aku tahu cepat atau lambat aku pasti akan tertangkap.

Sidik jariku ada di benda itu kan, Inspektur? Seharusnya sih ada. Benda yang jadi senjata pembunuhan itu... apa kau dan tim forensikmu masih memeriksanya?

Ah, jadi benar. Masih diperiksa di lab, ya.

“Penyelidikan masih dilakukan,” katamu?

Jadi karena itu kau masih belum bisa menahan dan membawaku ke penjara? Entah kenapa aku merasa senang mendengarnya. Itu artinya aku masih punya sedikit waktu untuk bebas, kan? Setidaknya, aku masih punya waktu untuk bicara dan menjelaskan semuanya padamu.

Jadi, tolong dengarkan baik-baik, Inspektur.

Aku memang sudah membunuh Ella. Aku yang... melakukan tindak kejahatan itu.

Tapi, bukan semuanya salahku. Ella yang memulainya lebih dulu.

***

Pertama kali aku bertemu dengan Ella, aku pikir dia itu cewek yang pendiam.

Di hari pernikahan kedua orang tua kami, Ella selalu duduk diam di tempatnya. Wajahnya murung tanpa senyum, cenderung cemberut. Keningnya mengerut. Kontras dengan gaun putih dan bando bunga yang dia pakai, aura yang dia keluarkan terasa suram.

Kupikir, cewek itu sedang sakit. Demam, mungkin? Atau pusing?

Saudaraku, Drizella, juga mengira seperti itu. “Kau lagi nggak enak badan, ya?” Drizella-lah yang menyapa Ella pertama kali. “Butuh sesuatu? Obat?”

Kukeluarkan permen mint dari saku, permen yang diberikan Mama sebelum acara pernikahannya dimulai. “Kau mau?” Kutawarkan permen itu padanya. berharap dia akan menerimanya sambil tersenyum.

Sayangnya, Ella masih tetap diam. Dia hanya menoleh sedikit, memandangku dan Drizella dengan tatapan datar. Tanpa ekspresi. Tanpa kata. Rasanya seperti bertatapan dengan patung. Mendadak terasa canggung. Di bawah kaca mozaik yang berlukiskan sosok bunda Maria, aku dan Drizella membeku, menatap mata kosong Ella.

Cewek itu pasti kesepian, pikirku.

Ella selama ini hidup tanpa ibu, tanpa saudara. Hanya ada dia dan ayahnya. Berdua saja. Aku nggak bisa membayangkan seperti apa keseharian cewek itu. Sewaktu ayahnya bekerja, Ella pasti sendirian di rumah. Apa yang dia lakukan pada saat itu? Bermain sendiri, mungkin? Puzzle, rumah boneka, permainan yang bisa dimainkan satu orang. Atau mungkin Ella akan belajar, membaca buku di kamarnya. Sendirian.

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang