Drizella 7

151 48 2
                                    

“Maaf.”

Bisa kau bayangkan Ella mengatakan kata ajaib itu, Inspektur?

Setelah semua kebohongan dan gosip konyol yang sudah dia sebarkan seenaknya sendiri, apa kau masih bisa percaya dengan kata maaf yang keluar dari mulut cewek idiot itu?

Aku sama sekali nggak percaya, Inspektur.

“Kenapa kau ke sini?” kutanyakan dengan lantang. Kakiku bergerak, menaiki tangga, menghampiri Ella. “Di mana Pangeran bodohmu itu? Kau seharusnya bersama dengan dia, kan? Kalian akan berdansa semalaman dan membuat Anastasia cemburu. Aku tahu.”

Seperti yang kubayangkan, Ella terkejut mendengarnya. Alisnya mengernyit. Dia menggeleng untuk menyangkal, tapi itu sia-sia.

“Maaf.”

“Kau pikir aku bakal percaya begitu saja dengan permintaan maafmu itu, Ella?” Kupasang senyum kecut. Tentu saja aku nggak percaya. “Aku bukan orang bodoh, kau tahu. Aku bukan seperti teman-teman tukang gosipmu yang bisa percaya begitu saja sama apa yang kau katakan.”

Kupikir, Ella akan tersinggung ketika aku mengonfrontasinya. Kupikir dia akan balik marah, menyerangku seperti kata-kata hinaan seperti yang biasa teman-temannya lontarkan padaku dan Anastasia. Namun aku salah. Ella nggak terbakar emosi. Dia menunduk, menatap lurus ke arah sepatu kacanya yang mengkilap.

“Aku mau minta maaf ke Anastasia,” katanya. “Dia ada di toilet itu, kan?”

Ella melangkahkan kakinya. Satu langkah. Dua langkah. Aku menahannya. Kupasang badan, merentangkan tangan, untuk menghalangi jalan cewek itu.

“Minggir. Aku mau lewat, Drizella.”

Kutatap mata Ella yang bersembunyi di balik bayang poninya. “Setelah membuat Anastasia cemburu dan menangis seperti itu....”

“Aku cuma mau minta maaf.”

“Ah, ayolah, Ella.” Aku menggeleng, nggak percaya. “Aku tahu apa yang mau kau lakukan. Kau pasti mau mengejek Anastasia, kan? Kau mau memamerkan kalau Pangeran-lah yang jadi pasangan dansamu. Kau mau membuat Anastasia lebih sakit hati.”

Ella terdiam. Aku tahu semua yang kukatakan itu benar. Ella sama sekali nggak membantah.

“Selamat, Ella. Dengan akting bodoh dan kebohonganmu itu, kau bisa dapat simpati Pangeran.” Aku bertepuk tangan sebagai bentuk sarkasme. “Sekarang apa lagi? Kau mau cerita tentang hari-hari menyenangkan kalian? Tentang kencan kalian, ciuman pertama, atau mungkin malam....”

Mendadak, aku merasakan pipiku memanas, Inspektur. Ella menamparku. Bisa kau bayangkan itu?

Aku sudah banyak mendengar kata-kata hinaan. Cacian dan ejekan. Bola-bola kertas yang sering dilempar ke kepalaku, sampah-sampah di loker, aku sudah sering merasakannya. Namun, nggak ada yang pernah menamparku sebelumnya. Dengan tangan mungil dan tatapan mata tajam itu... beraninya dia.

Aku nggak bisa menerimanya, Inspektur. Itu seperti sebuah penghinaan yang nggak akan pernah bisa kumaafkan.

“Apa itu yang diajarkan ibumu kepadamu, Ella?”

Aku ini memang cewek yang kasar, Inspektur. Aku sering berkelahi sewaktu aku masih kecil. Dengan Anastasia atau siapa pun yang menggangguku saat itu. Tapi, aku nggak pernah memukul atau menampar seseorang. Sekali pun nggak pernah. Aku ingat Mama melarang dan memarahiku. Dia selalu menyuruhku bersabar dan nasihat itulah yang selalu kuingat setiap kali emosiku hampir meledak.

“Kau pasti nggak pernah diajari oleh ibumu ya, Ella. Sikapmu yang seperti itu. Pembohong. Egois.”

“Berhenti bicara yang nggak-nggak tentang Mama!” Kulihat Ella mulai mengepalkan tangannya erat-erat, sama seperti kepalan tanganku yang penuh dengan emosi. “Apa yang kau tahu? Kau nggak tahu apa-apa tentang Mama. Berhenti bicara buruk tentangnya!”

Ella menerjangku, menjatuhkan tubuhku hingga ke lantai. Dia menindih, menjambak rambutku dengan membabi buta. Teriakannya gemetar, bercampur tangis.

Pertengkaran itu... entah berapa lama. Mungkin satu atau dua menit. Kami berguling-guling di lantai, saling jambak. Aku menendang Ella agar bisa bangkit, berdiri. Ella dengan napasnya yang mulai naik turun, menatapku seperti seorang binatang buas yang ingin balas dendam.

Aku nggak tahu, Inspektur. Mungkin saja, tatapanku juga sama seperti Ella. Saat itulah, terakhir kali aku melihat sorot matanyanya.

Dengan gaun dan sepatu hak tinggiku, aku berlari. Aku ingin menerjang Ella seperti yang dia lakukan padaku tadi. Aku ingin menindih dan menjambak rambut cewek idiot itu. Namun, Ella menghindar.

Satu-satunya hal yang nggak pernah kubayangkan sebelumnya. Ella melompat ke samping, ke arah tangga. Dia kehilangan keseimbangan. Sepatu kacanya yang licin terselip. Dan akhirnya... Ella terjatuh.

Tubuhnya terguling, seperti bola salju yang menuruni gunung, pecah dan hancur di lereng. Ella dengan gaun berwarna biru langitnya itu... aku nggak sanggup melihatnya lama-lama, Inspektur. Memang nggak ada darah yang keluar dari tubuh cewek itu. Tapi mengingat suara jatuhnya, saat kepalanya terbentur anak tangga. Itu mengerikan.

Kupikir, Ella mati saat itu juga.

Bukan karena racun atau pot atau sesuatu yang lain.

Ella terbunuh karena aku.

***

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang