Pangeran 1

170 45 7
                                    

Memang benar, akulah yang menjadi pasangan dansa Ella di pesta itu. Just one little night, surrounded by beautiful music, glittering moonlight. Just two of us. Aku dan Ella. Seharusnya tidak ada kebohongan di antara kami. Seharusnya kami menjadi pasangan yang sempurna.

I chose her from the very beginning.

Aku mengkhianati Anastasia, dan memilih untuk percaya kepada Ella. Lalu...?

“Kenapa?” tanyamu?

Kenapa aku lebih percaya kepada Ella?

Aku hanya... ingin melakukan apa yang menurutku benar, Inspektur. I just want to follow my damn heart. Hatiku yang sudah membuatku percaya pada Ella. Melihat jauh ke dalam bola mata gadis itu, suara lembutnya ketika dia menceritakan apa yang sudah ibu tiri dan saudara tirinya lakukan saat di rumah, tentu saja itu membuatku bersimpati kepada Ella. Bukan cuma aku. Kuyakin setiap orang yang pernah mendengarnya pun pasti akan ikut prihatin dan peduli pada gadis itu.

Bodoh, memang. Aku tahu. Aku terlalu gampang percaya pada orang lain. Kalau dari awal aku tahu Ella berbohong tentang keluarganya, mungkin... ah, shit!

Maaf karena aku memukul-mukul meja, Inspektur. Aku benar-benar tidak percaya atas apa yang sudah terjadi selama ini. Aku masih berusaha mencernanya dalam kepalaku, Ella’s fuckin bullshit. Bisa-bisanya dia memfitnah keluarganya sendiri seperti itu. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam kepalanya.

Seharusnya... seharusnya waktu itu aku percaya pada Anastasia. Dia yang pernah kucintai dan mencintaiku dengan tulus. Seharusnya aku mendengar baik-baik apa yang dia katakan. Why am i so dumb? I betrayed Anastasia. I betrayed her feelings.

“Tidak ada gunanya menyesal,” katamu?

Semua sudah terjadi. Ella sudah pergi.

Kau terdengar seperti ayahku, inspektur. Kalau dia ada di sini, mungkin dia akan bicara seperti itu juga kepadaku. “Jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Mungkin Ayah akan berkata seperti itu, dengan suara yang dalam, dan mata bijak yang menatapku penuh pengertian.

Aku tahu, kematian Ella itu bukan sepenuhnya salahku. Aku tidak melakukan apa-apa padanya. Namun, bukan berarti aku bisa lepas tangan begitu saja, kan? She’s my prom date, after all. Aku yang bertanggung jawab atas apa saja yang dia lakukan malam itu. Ke mana dan apa pun yang Ella lakukan, seharusnya aku mengawasinya.

Tidak. Seharusnya kematian Ella bukan salahku. Bukan. Bukan. Walaupun aku marah dan mengutuknya malam itu, itu tidak mungkin terjadi.

Ella mati karena terbunuh kan, Inspektur?

Bukan karena kutukan. Bukan karena aku. Ahahaha-ha-ha.... Tidak mungkin aku membunuh Ella. Tidak, tidak mungkin. Sejak kecil, Ayah selalu mengajariku.

Crown. Kau pernah mendengar nama itu kan, Inspektur? Itu adalah nama super hero di acara televisi yang sering kutonton bersama Ayah. Aku ingat setiap minggu pagi, kami berdua selalu siap di depan televisi. Ayah dan aku duduk di sofa, dengan beberapa bungkus kripik kentang dan cola. Itu adalah acara kesukaan kami, kami tidak pernah melewatkannya.

Crown bercerita tentang seorang anak remaja yang lemah, kutu buku. Dia tidak punya banyak teman. Namun, ada satu hal yang membuatnya sangat istimewa.

Dia adalah reinkarnasi dari seorang raja.

The power of king. Apa pun yang anak itu inginkan, pasti akan terkabul. Benar-benar seperti seorang raja yang berkuasa atas segalanya. Begitulah inti kekuatan Crown. Dia bisa mengalahkan semua penjahat yang dia hadapi dengan kemampuannya itu dengan satu syarat, Crown harus berteriak dan si penjahat harus mendengarnya.

“Menyerahlah!” atau, “Serahkan dirimu ke polisi!” Detik-detik ketika Crown mengalahkan penjahatnya itu, aku selalu menantikannya. Benar-benar hebat. Emosi yang ada di mata Crown, perubahan suara Crown yang biasanya cengeng, tiba-tiba menjadi tegas selayaknya seorang raja. Adegan seperti itu selalu bisa membuatku merinding saat melihatnya.

Aku ingin menjadi super hero, sama seperti dia. Mengalahkan penjahat dan menolong banyak orang. Itu cita-citaku sewaktu aku masih kecil, Inspektur. Namun....

“Kenapa Crown selalu mengirim penjahatnya itu ke penjara, Yah?”

Ayah yang duduk di sebelahku waktu itu mengernyit, tidak mengerti. “Memangnya, apa yang salah dengan itu?”

“Kalau cuma dipenjara kan, nanti penjahat itu bisa bebas atau kabur. Seperti Rex sama Mad Hunter...,” aku menyebut tokoh penjahat dari film itu. “Mereka bisa melakukan kejahatan lagi jika sudah keluar dari penjara.”

“Lalu?”

“Seharusnya mereka mati saja.” Dengan kekuatan Crown, hal itu bisa lebih gampang dilakukan. Crown hanya harus berteriak, menyuruh mereka untuk mati, menembak atau meledakkan diri sendiri. Semudah itu. Tidak ada yang bisa melawan kekuatan raja. Tidak akan ada lagi kejahatan di kemudian hari.

Lalu, bisa kau bayangkan seperti apa jawaban yang Ayah berikan padaku, Inspektur?

Ayah tersenyum, menampilkan deretan giginya yang menguning karena kopi dan rokok. Tangan besarnya mengusap rambutku. “Crown tidak punya kekuatan seperti itu,” katanya. “Seorang raja sekalipun, tidak berhak memutuskan hidup atau matinya manusia.”

Aku ingat, waktu itu aku terpukau dengan jawaban Ayah itu. Aku menganga, dan menganggap serius jawabannya, setiap perkataannya.

Tentu saja, walaupun pada akhirnya aku tahu semua yang dikatakan Ayah itu bohong. Ada raja yang mengeksekusi rakyat dan prajuritnya. Kepala negara yang memberikan hukuman mati pada sekelompok teroris yang menyerang negaranya.

Seorang raja bisa melakukan apa pun yang dia lakukan. Benar-benar tidak ada batasan. Aku tahu. Akulah yang paling tahu tentang hal itu.

Karena aku memiliki kekuatan yang sama dengan Crown.

Hanya dengan berteriak, aku bisa melakukan apa pun, mendapatkan semua yang aku mau. Bahkan nyawa manusia sekalipun.

Kekuatan raja ada di dalam diriku.

***

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang