Kau tadi menduga kalau aku ini membenci Anastasia kan, Inspektur?Kurasa kau ada benarnya. Akhir-akhir ini, Anastasia memang jadi jauh lebih menyebalkan. Dia hanya berfokus pada Pangeran, memuja dan mengejar-ngejar cowok itu seperti orang yang sudah kehabisan akal. Mungkin itu yang dinamakan mabuk cinta, tapi sumpah, aku benar-benar nggak mengerti lagi dengan Anastasia. Dia jadi kayak orang yang berbeda. Saudaraku yang biasanya lebih suka membaca buku di tempat sepi itu benar-benar terlihat sudah berubah.
Aku tahu, ada ungkapan yang mengatakan kalau cinta itu bisa mengubah seseorang. Cinta bisa membuat orang melupakan jati dirinya. Apa itu benar, Inspektur? Apa itu berarti cinta juga bisa membuat cewek sepintar Anastasia menjadi orang bodoh?
Aku nggak tahu, Inspektur. Aku sendiri belum pernah merasakan rasanya jatuh cinta sampai saat ini. Aku nggak terlalu dekat dengan cowok, dan kurasa nggak bakal ada cowok yang menyukai penampilan dan sifatku yang mudah terbawa emosi.
Eh? Nggak perlu memasang wajah bersimpati seperti itu, Inspektur. Sejujurnya, aku nggak terlalu keberatan dengan cerita cintaku yang kosong. Itu bukan hal yang buruk bagiku. Seenggaknya, aku masih punya Mama yang tulus menyayangiku, nggak seperti Pangeran yang langsung pergi meninggalkan Anastasia karena terpancing kebohongan yang dibuat Ella.
Dan juga, aku nggak mau jadi seperti Anastasia yang dibutakan oleh cinta.
Apa kau tahu, Inspektur? Anastasia itu bahkan nggak pernah merawat Mama sewaktu Mama sedang sakit. Yang dia pedulikan cuma Pangeran. Cuma cowok sok keren nggak jelas itu. Setiap sepulang sekolah, Anastasia akan buru-buru pergi ke kamarnya, menangisi Pangeran, membuat surat cinta, surat permintaan maaf, mencoba menelepon Pangeran yang berakhir sia-sia. Anastasia sama sekali nggak peduli sama Mama yang pucat dan terbaring lemah.
Hanya aku. Di rumah itu, nggak ada yang peduli dengan Mama selain aku. Aku yang setia menemani Mama. Aku yang rutin mengganti kompres dan memastikan Mama meminum obatnya. Padahal Anastasia itu anak kesayangan Mama, tapi dia bahkan nggak pernah sekali pun menjenguk Mama di kamarnya. Nggak pernah membuatkan teh hangat. Nggak pernah memijat kaki Mama. Hanya aku.
Ella? Apa kau pikir Ella akan peduli dengan kondisi kesehatan Mama, Inspektur? Apa kau pikir, ketika Ella melihat Mama yang terbaring lemas, dia akan luluh hatinya dan berubah menjadi gadis manis?
Aku nggak bisa membayangkannya, Inspektur. Itu terlalu konyol.
Ella jelas nggak akan peduli. Cewek egois itu tetap mengurung diri, berkutat dengan barang-barang lama peninggalan ibu kandungnya yang berdebu. Bukan sesuatu yang mengagetkan bagiku. Mungkin, memang lebih baik kalau si Bodoh itu tetap duduk diam di sudut kamarnya.
Sejak awal, aku memang nggak berharap besar kepada Ella. Aku nggak berharap dia akan bersimpati dan mau membantuku merawat Mama. Sama sekali nggak. Aku bisa merawat Mama sendiri. Aku bisa mengatur waktuku dengan baik. Pekerjaan rumah seperti menyapu dan memasak pun masih bisa kuselesaikan dengan sempurna.
Eh? Jangan salah paham dulu, Inspektur. Aku bercerita seperti ini bukan karena ingin mengeluh. Sebaliknya, aku malah senang melakukan itu semua di hadapan Mama.
“Drizella, terima kasih.” Dengan bibir pucatnya, Mama tersenyum padaku. “Kamu ini benar-benar anak yang bisa diandalkan, ya.”
Nggak ada yang lebih membuatku merasa bahagia selain mendapat pujian dari Mama.
Di luar, langit yang berwarna oranye tampak seperti daun musim gugur. Suara mesin kipas angin yang berputar pelan mengisi keheningan. Kuletakkan mangkuk bubur yang belum habis itu di atas nakas, di sebelah gelas air dan obat-obatan Mama yang belum sempat dia minum.
Dengan tangannya yang gemetaran memegang lenganku, Mama berusaha bangun dari selimutnya. “Mama akan masak makan malam.”
“Nggak, Ma. Biar aku saja.” Aku menggeleng, meyakinkan Mama untuk percaya padaku. “Mama masih sakit. Harus banyak istirahat.”
“Ini cuma demam kecil, kok.” Mama bersikeras. “Mama baik-baik saja.”
“Tapi, Ma....”
Tanpa mendengar saran dan perkataanku lebih dulu, Mama mulai berdiri. Langkahnya kecil-kecil, terlihat ragu. Di balik kardigan merah jambu kesayangannya itu, Mama benar-benar terlihat rapuh. “Mama akan membuat sup labu untuk Ella. Dia pasti akan senang.”
Aku menunduk dalam-dalam. Aku tahu dari Papa kalau makanan favorit Ella itu memang sup labu. Namun, kurasa percuma saja kalau Mama yang memasaknya. Ella nggak akan suka. Ella tetap nggak akan menghargai kebaikan Mama.
Dalam keraguan yang menyesakkan itu, aku mendengar suara. Seperti benda besar yang jatuh. Lantai pun terasa sedikit bergetar. Ketika kudongakkan kepala, kulihat Mama sudah terkulai lemah di lantai.
“Tuh kan, sudah kubilang, Mama itu masih sakit.” Kupeluk Mama. Kubantu dia berjalan kembali ke tempat tidurnya. Napas Mama yang berat berembus di sekitar telingaku. “Biar aku saja yang masak makan malam. Aku akan masak makanan kesukaan Mama.”
“Maaf.”
“Kau selalu bisa mengandalkanku, Ma.” Kuberikan senyum terbaikku padanya. Kemudian, arah mataku nggak sengaja bertemu dengan tas kertas yang disimpan Mama di sebelah meja riasnya.
Tas berisi gaun dan sepatu kaca yang seharusnya punya Ella. Diam-diam, aku menginginkannya.
“Gaun itu... boleh aku coba nggak, Ma?” Kutunjuk gaun itu dengan dagu, mataku melirik ke arah Mama, menunggu jawaban. “Toh, Ella sudah bilang kalau dia nggak mau pakai gaun itu, kan?”
Dalam hati, aku mengharapkan jawaban iya. Seharusnya, Mama memperbolehkanku memakai gaun dan sepatu kaca itu. Namun, yang kudapat malah gelengan samar. “Itu punya Ella,” katanya. “Kamu kan sudah Mama belikan gaun sendiri.”
“Tapi....” Aku ingin bilang kalau gaun punya Ella itu terlihat lebih bagus daripada punyaku. Sepatu kacanya juga. Mereka tampak berkilauan.
Sayangnya, Mama tetap nggak memperbolehkan.
“Mama memilihkan gaun itu khusus untuk Ella.”
Ella. Lagi-lagi Ella. Padahal Ella yang sudah membuat Mama sakit seperti ini. Ella yang membuat Mama sedih. Ella yang membuat Mama stres, bekerja terlalu keras, hanya untuk menyenangkan hati cewek bodoh itu. Idiot, sialan!
Apa yang bisa aku lakukan, Inspektur?
Aku, anak yang paling bisa diandalkan. Apa yang bisa kuperbuat untuk membuat Mama berhenti memikirkan Ella?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella in Wonderland [END]
Mystery / ThrillerCinderella si pembohong itu, memang pantas untuk mati. *** Seorang gadis remaja bernama Ella Tremaine ditemukan tidak bernyawa di area lobi belakang sekolah. Ada luka lebam yang membiru di lengan dan kakinya. Gaun yang dia pakai kotor terkena noda k...