Bisa dibilang, Alice dan Fairy itu adalah sahabat dekat Ella.
Mereka sering terlihat bersama ketika sedang berada di sekolah. Tentu saja, mereka juga teman sekelas. Ella duduk sebangku dengan Alice, sedangkan Fairy di duduk di bangku belakang mereka. Nggak tahu kenapa, sejak hari pertama di sekolah, ketiga cewek itu sudah akrab satu sama lain. Seperti teman yang sudah kenal sejak lama.
Mereka duduk di barisan meja paling belakang, pojok yang dekat dengan jendela. Saat jam pelajaran berlangsung, mereka sering mengobrol sendiri, berbisik-bisik, mengeluarkan tawa samar yang bisa mengganggu konsentrasi teman-teman di sekitar mereka. Tidak hanya itu, pernah satu kali mereka ketahuan membawa camilan ke dalam ke kelas. Sebungkus snack kripik kentang. Ketiga gadis itu makan diam-diam waktu ada guru menjelaskan di papan.
Menurutku, Alice sama Fairy itu bukan tipe teman yang baik, Inspektur. Mereka memberi contoh yang buruk untuk Ella.
Alice, cewek cerewet berbando hitam itu sering menyontek saat ada tugas atau ujian. Sering lupa mengerjakan pr dengan alasan buku tulisnya ketinggalan. Selalu memakai make up tebal. Kukunya selalu dipoles dan dikutek warna-warni, tidak mematuhi aturan sekolah. Dan yang paling menyebalkan, Alice itu sering menganggap dirinya lebih cantik dari cewek-cewek lain. Benar-benar narsistik.
Apa kau tahu, Inspektur? Alice pernah memberi julukan pada dirinya sendiri. “Panggil aku Ratu,” katanya. “Ratu Alice.”
Teman-teman lain mungkin menganggap itu hanya candaan semata. Mereka tertawa, menyebut-nyebut nama Ratu Alice dengan nada bercanda dan akting wajah yang dibuat-buat. Namun, sepertinya Alice menganggap itu bukan bercanda. Aku melihat ekspresi Alice waktu itu. Dagu yang diangkat, sorot mata yang memandang rendah orang lain, dan juga senyumnya... senyum yang memuja-muja popularitas.
Melihat Ella yang dekat dengan Alice, tentu saja aku sedikit khawatir.
Lalu, ada Fairy juga. Fairy mungkin tidak senarsis Alice, tapi tetap saja cewek mungil bertubuh pendek itu tidak lebih baik darinya. Fairy juga membawa pengaruh buruk. Dia sering tidur di kelas, sering terlambat sekolah. Pemalas yang selalu mengeluh ketika disuruh melakukan hal-hal berat seperti lari keliling lapangan atau hanya mengantar sesuatu ke ruang guru. “Kenapa harus aku, sih?” Itu kata-kata andalan yang sering keluar dari mulut Fairy.
Aku ingat, aku sama Drizella pernah dapat jadwal piket yang sama dengan cewek itu.
Hari rabu, ketika jam pelajaran sudah berakhir dan bel pulang sekolah berdering, aku membagi tugas dengan Drizella. Karena Drizella kuat, dia bertugas untuk merapikan kursi, menaikkannya ke atas meja. Lalu, tugasku adalah menyapu.
Fairy mendapatkan tugas yang termudah. Hanya mengelap jendela dan membersihkan papan tulis. Cuma itu. Tapi dia nggak mau. “Kenapa harus aku?” tanyanya.
“Karena kau yang piket hari ini,” Drizella menjawab, tentu dengan sedikit nada kesal.
“Itu tugas yang mudah, kan? Kalian berdua saja yang melakukannya. Aku mau pulang.”
“Mana bisa begitu, dong!” Di ambang pintu, Drizella menghalangi jalan Fairy. “Bersihin dulu jendelanya.”
Fairy menghembuskan napas berat, memandangku dan Drizella satu per satu, lalu menggerakkan jari telunjuknya seolah sedang mengayunkan tongkat sihir. “Kemoceng dan lap ajaib, bersihkan jendela itu,” ucapnya, mengada-ngada. Tak lupa, dia juga menambahkan mantra sihir, “Abracadabra!”
tingkah konyol Fairy itu sebenarnya juga bukan hal yang mengejutkan. Dia sudah sering melakukannya. Berakting seperti penyihir dari negeri ajaib, mengayunkan tongkat imajinasinya ke mana-mana, bahkan cewek itu juga pernah beberapa kali menceritakan hal-hal aneh seperti petualangannya di hutan elf, pertemuannya dengan raja kurcaci, sampai cerita tentang tongkat sihirnya yang terbuat dar kayu pohon Eden.
“Fae imajinasinya tinggi banget, ya.”
“Lucu. Kayak anak kecil.”
“Pasti sering baca buku dongeng.”
Aku ingat, teman-teman sekelas yang memujinya seperti itu. Awalnya, kupikir Fairy juga imut. Dengan badan mungil, suara kecil, dan gaya bicaranya itu, rasanya memang seperti bicara dengan anak-anak berusia lima tahun. Seperti punya adik sendiri. Sayang, sifat egois Fairy membuat dia terlihat menyebalkan di mataku.
“Lihat. Jendelanya sudah kubersihin pakai mantra sihirku.” Fairy menunjuk jendela yang jelas masih penuh dengan debu. “Sekarang aku mau pulang. Minggir.”
“Nggak segampang itu, Fae.”
Ada adu mulut kecil antara Drizella dan Fairy setelah itu. Drizella tetap nggak mau memberi jalan pada Fairy. Akhirnya, dengan enggan Fairy menurut. Alisnya terus mengerut dan dia nggak berhenti mengoceh sendiri sewaktu mengelap jendela.
Kira-kira seperti itulah sifat Alice dan Fairy, Inspektur.
Aku tahu, aku melarang nggak berhak melarang Ella untuk berteman dengan mereka, tapi sebagai saudara tirinya... kupikir Ella seharusnya lebih selektif dalam memilih teman. Seharusnya Ella nggak boleh terlalu dekat dengan dua cewek itu.
Kalau saja, Ella nggak berteman dengan mereka, mungkin saja... mungkin saja...
Maaf, Inspektur. Aku sedikit terbawa suasana. Aku teringat kembali dengan... sesuatu.
“Apa ‘sesuatu’ itu berkaitan dengan Ella?” tanyamu? “Apa saja yang sudah Ella lakukan?”
Aku... aku nggak tahu harus cerita mulai dari mana tentang hal ini.
“Ceritakan perlahan saja,” katamu?
Akan kucoba, Inspektur. Sebentar. Boleh aku minta tisu lagi?
Terima kasih.
Ah, benar juga. Kalau nggak salah, waktu itu juga hampir sama seperti ini. Dia memberiku sebungkus kecil tisu wajah.
Waktu itu siang hari. Matahari terik berada tepat di atas kepala kami. Aku ingat saat itu aku sedang berada di perpustakaan. Setelah menjauhkan diri dari Alice dan Fairy yang ingin menjahiliku, aku duduk sendirian di tempat yang penuh dengan buku itu, menangis diam-diam di antara rak fiksi ilmiah dan rak ensiklopedia.
Kupikir, aku sendirian di tempat itu. Selain penjaga perpustakaan yang setia duduk di balik konter, seharusnya memang tidak ada murid lagi di sana.
Seharusnya aku bisa bebas menangis tanpa diketahui siapa pun.
Tapi tidak, Inspektur.
Di perpustakaan hari itu, aku bertemu dengan Pangeran.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella in Wonderland [END]
Mystery / ThrillerCinderella si pembohong itu, memang pantas untuk mati. *** Seorang gadis remaja bernama Ella Tremaine ditemukan tidak bernyawa di area lobi belakang sekolah. Ada luka lebam yang membiru di lengan dan kakinya. Gaun yang dia pakai kotor terkena noda k...