Lady Tremaine

1.7K 164 32
                                    

Ella itu pembohong.

“Ibu tiriku itu kejam,” katanya. “kedua saudara tiriku juga jahat.” Apa-apaan itu?

Apa Anda percaya dengan itu semua? Ya, mungkin saya saat ini terlihat seperti wanita kejam yang tidak berperasaan di mata Anda, tapi apakah Anda tahu, hal-hal busuk apa saja yang sudah Ella lakukan terhadap saya dan kedua putri saya.

Saya sering menerima teguran dari beberapa  guru dan juga wali kelas Ella, saat pengambilan rapor akhir semester, atau saat ada acara rapat wali murid tahunan. Mereka menyalahkan saya atas sesuatu yang bahkan tidak pernah saya lakukan sama sekali.

“Ella sering lupa mengerjakan PR,” kata para guru itu. Lalu mereka menyalahkan saya.

Saya tidak mengerti. Mereka bilang, Ella jadi begitu karena saya selalu menyiksa Ella setiap malam. Saya menyuruh Ella memasak, tidak memberinya makan malam yang cukup, mengurung dan membiarkannya tidur di dalam gudang bawah tanah yang dingin. Tanpa memberinya waktu dan kesempatan untuk belajar. Kebohongan yang sangat tidak masuk akal. Saya tidak mengerti, kenapa guru-guru di sekolah terpelajar seperti itu bisa percaya begitu saja dengan gosip yang disebarkan oleh putri saya, Ella.

Apa wajah saya ini terlihat sekejam itu, Inspektur?

Apa saya terlihat seperti seorang ibu yang gemar menyiksa gadis muda hanya karena dia anak tiri saya? Hanya karena gadis itu tidak memiliki hubungan darah dengan saya?

Tidak. Tidak. Saya bukan orang yang seperti itu, Inspektur. Saya tegaskan sekali lagi kepada Anda. Saya tidak pernah menyiksa Ella. Saya tidak pernah memaksanya tidur di gudang. Saya selalu memberinya makanan yang cukup. Saya sayang kepada gadis itu, sama seperti saya sayang kepada putri kandung saya sendiri.

Gosip itu tidak benar. Hal-hal buruk yang dikatakan Ella tentang saya dan kedua putri saya itu hanya kebohongan.

Ya, mungkin tidak semuanya bohong.

Saya ingat para guru itu juga pernah berkata kalau Ella sering terlambat ke sekolah. Alasannya? karena saya sebagai ibu tirinya selalu menyuruh gadis itu untuk bersih-bersih rumah terlebih dahulu sebelum berangkat.

Yang satu itu mungkin memang benar. Wali kelas Ella menegur saya dengan ekspresi prihatin yang dilebih-lebihkan, tapi saya tidak menyangkalnya. Bukan untuk menyiksa atau mengerjai, saya tentu saja punya alasan baik untuk hal itu.

Mau bagaimanapun, saya ingin putri saya itu tumbuh menjadi wanita yang mandiri. Saya ingat saya pernah meminta Ella membereskan piring-piring kotor bekas sarapan yang ada di meja makan, menaruhnya di wastafel yang ada di dapur. Atau yang paling sering, saya minta tolong padanya untuk membantu menyiram tanaman di kebun belakang. Menurut saya, itu pekerjaan rumah yang tergolong ringan dan wajar dilakukan oleh gadis seumuran Ella.

Tentu saja, saya juga memperhatikan jam. Saya tahu kapan waktunya Ella berangkat ke sekolah. Pukul tujuh pagi, gerbang sekolah akan ditutup. Saya selalu memperingatkan gadis itu agar segera berangkat tiga puluh menit sebelumnya. Dengan sisa waktu sebanyak itu, saya yakin Ella tidak akan terlambat sekolah. Seharusnya tidak.

“Lalu, kenapa Ella sering terlambat?” tanya Anda?

Saya tidak... entahlah, Inspektur. Saya juga terkejut dan tidak tahu harus menjawab apa ketika para guru dan wali kelas Ella memberitahukan hal itu. Kadang, saya pun tidak habis pikir dengan perilaku putri tiri saya itu.

Ella masih belum menerima saya sebagai ibu tirinya. Saya paham itu. Akan tetapi, mau sampai kapan?

Saya selalu berusaha, Inspektur. Apa Anda tahu, betapa susahnya usaha saya untuk meluluhkan hati gadis itu? Saya siap memberikan apa saja untuknya, kalau saja dia meminta sesuatu kepada saya. Baju baru, mungkin? Atau tas? Sepatu, atau buku-buku yang dia inginkan, saya dengan senang hati akan membelikan untuknya. Saya juga siap dijadikan sebagai tempat curhat apabila gadis itu sedang sedih karena nilai yang turun atau masalah percintaan remaja. Saya siap mendengarkan.

Sayangnya, Ella tidak pernah meminta apa pun dari saya. “Aku tidak ingin apa-apa,” katanya. “Tidak perlu.” Setiap kali saya ingin membelikannya sesuatu, gadis itu selalu menolak dengan nada yang sangat tegas, mata yang dibuat melotot. Penuh emosi.

Begitu juga dengan obrolan di antara kami. Jangankan curhat, respons yang diberikan gadis itu ketika saya mengajaknya bicara palingan juga tidak jauh dari kata, “iya,” atau, “tidak,” yang singkat. Anggukan atau gelengan. Tidak pernah ada pembicaraan panjang antara saya dengan Ella.

Saya pikir dengan menyuruh Ella melakukan beberapa tugas rumah, hubungan kekeluargaan kami bisa menjadi lebih erat. Anda tahu, seperti hubungan Ibu dan anak yang sering membantu satu sama lain. Ella yang menyapu, saya yang mengepel. Atau, Ella yang mencuci piring, saya yang memasak. Saya pikir dengan melakukan pekerjaan rumah bersama-sama seperti itu, Ella mungkin bisa lebih terbuka kepada saya.

Sebagai seorang ibu, saya ingin membangun keluarga yang harmonis. Keluarga yang sehat, yang rukun dan akrab satu sama lain. Saya memimpikan sebuah rumah yang penuh dengan canda tawa. Drizella, Anastasya, dan Ella, saya ingin melihat mereka tumbuh bersama, makan malam bersama, membicarakan cinta pertama atau laki-laki yang menarik perhatian mereka, membicarakan baju dan sepatu model terbaru, membicarakan make up, gaya rambut, perawatan kulit, seperti gadis-gadis remaja pada umumnya. Saya ingin putri-putri saya itu berbagi senyum hangat untuk satu sama lain.

Saya tahu itu hal yang sulit, apa lagi di mata Ella, saya ini tidak lebih dari seorang ibu tiri yang tiba-tiba masuk ke keluarganya. Saya mengerti. Akan tetapi, saya tidak bisa memaafkan Ella yang sudah memfitnah saya dan putri saya. Saya tidak bisa menerimanya. Saya sudah bertahan cukup lama, dan kesabaran saya sudah meluap sampai batasnya.

Dengan berat hati, saya mengakuinya, Inspektur.

Malam itu, saya membunuh Ella.

***

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang