Drizella 2

155 45 2
                                    

Mama ingin membuat keluarga yang ideal. Karena itu, dia berusaha keras untuk mendapatkan hati Ella.

Aku mengerti. Aku paham tentang hal itu. Saat awal-awal kami tinggal di rumah itu pun, aku sempat mendukung Mama mengejar impiannya.

Itu pasti mudah, pikirku waktu itu. Kalau hanya meluluhkan hati seorang gadis kecil, Mama pasti bisa dengan gampang melakukannya.

Sayangnya aku salah, Inspektur. Hari-hari yang kami jalani ternyata lebih sulit dari yang kuduga. Apalagi setelah kematian Papa, cewek itu jadi lebih susah dikendalikan. Ella yang sebelumnya hanya diam, mendadak jadi sering memberontak. Dia nggak sungkan-sungkan lagi sewaktu melirik tajam ke arah kami. Saat makan malam pun, kelakuannya nggak sopan. Dia selalu makan dengan terburu-buru, seolah nggak nyaman duduk berlama-lama dengan kami. Bahkan, nggak jarang juga dia memilih untuk membawa makanannya ke kamar. Makan sendirian di sana.

Mama biasanya akan menunduk dan menghela napas setelah ada kejadian seperti itu. Dia akan tetap melanjutkan makan malamnya, melanjutkan obrolannya dengan aku dan Anastasia seperti semula. Terlihat tegar, memang. Namun aku tahu, dibalik senyum Mama yang kuat itu, ada air mata yang dia tahan dalam-dalam.

“Ella itu sayang banget sama mendiang ibu kandungnya,” begitu alasan Mama. “Jadi wajar kalau Ella masih belum bisa nerima Mama jadi ibu tirinya.”

Aku mengerti. Tapi mau sampai kapan? Sampai kapan Ella itu mau mengabaikan kebaikan Mama?

Sebelum Papa meninggal, aku pernah beberapa kali bertanya, “Bagaimana sih, hubungan Ella sama mendiang ibu kandungnya itu?”

Papa menjawab, “Sama seperti kamu yang sayang sama Mama.” Kurasakan tangan besar Papa mengusap atas kepalaku. “Drizella, kamu sayang banget sama Mama kamu, kan? Ella juga begitu. Dia sayang sama mama kandungnya.”

Papa bercerita kalau sewaktu Ella masih kecil, ibunya itu sering membacakan cerita dongeng untuknya. Dongeng seperti Snow White, atau Rapunzel. Sebelum tidur, Ella selalu meminta sang ibu untuk mendongenginya. Di hari minggu, mereka juga sering berjalan-jalan dan bermain di taman, melihat bunga dan air mancur. Menurut Papa, Ella itu mirip dengan ibunya. Bibir tipisnya, bentuk hidungnya yang mungil, mata bulat bersinarnya. Sama-sama suka berkebun. Tidak bisa naik sepeda. Tidak suka cokelat yang pahit. Punya alergi kacang. Benar-benar seperti buah yang tidak jatuh jauh dari pohonnya.

Sedikit, aku bisa mengerti dengan perasaan Ella. Ditinggal pergi oleh seorang ibu seperti itu. Selama ini Ella pasti kesepian. Ella pasti menginginkan sosok ibunya kembali. Ibu kandungnya.

Aku mengerti kesedihan Ella. Namun, bukan berarti aku bisa membiarkan Ella bersikap seenaknya kepada Mama.

Mama nggak bersalah sama sekali. Mama sudah bersikap baik kepada Ella. Aku nggak terima kalau si bodoh Ella itu sampai membuat Mama menangis. Nggak. Ella nggak bisa bersikap seperti itu terus, Inspektur. Walaupun memang bukan ibu kandungnya, tapi Ella juga harus menghargai Mama.

Aku ingat suatu hari, Mama pernah masuk ke kamar Ella tanpa izin. Maksud Mama baik. Dia cuma ingin membersihkan kamar itu. Menyapu dan membersihkan debu-debu yang menumpuk di jendela. Sama sekali nggak ada maksud jahat. Tapi, sewaktu Ella datang dan menyadari kamarnya yang menjadi lebih bersih, cewek itu malah marah.

Dia menghampiri Mama yang berada di dapur, mencaci dan berteriak dengan nada kasar. “Jangan pernah masuk ke kamarku!”

Lagi-lagi, aku melihat Mama yang menahan tangis. Padahal, Mama sudah menjelaskan dengan sabar. Dengan bahu dan bibirnya yang gemetaran, Mama sudah bilang kalau dia hanya ingin bersih-bersih saja.

Sayangnya si bodoh Ella itu tetap melontarkan tatapan tajamnya.

Sumpah, aku nggak mengerti lagi. Memang apa salah Mama? Toh nggak ada barang yang hilang dari kamar itu. Foto dan barang-barang peninggalan ibu kandungnya juga malah keliahtan lebih bersih dan mengkilap dari sebelumnya. Seharusnya Ella berterima kasih ke Mama.

Aku nggak bisa melupakan hari itu, Inspektur. Namun, pertengkaran masalah kamar itu bukan yang terburuk.

Ada satu lagi kejadian yang membuatku benar-benar serasa mau meledak.

Sore itu, ketika pulang dari pasar, Mama membawa banyak barang belanjaan. Bukan hanya bahan makanan untuk makan malam, tapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang bisa membuat Mama tersenyum lebar sejak melangkah dari pintu depan. Di meja ruang tengah, dengan keringat dan helaan napas lega, Mama meletakkan semua tas-tas kertas belanjanya itu.

Gaun bergaya Victoria dan tiga pasang sepatu.

Aku berseru, memanggil Anastasia yang sedang berada di kamar. Nggak lama kemudian, anak itu turun dengan terburu-buru. “Ada apa, ada apa?”

“Mama beliin kita gaun buat ke pesta dansa.” Aku mengangkat, menunjukkan salah satu gaun itu kepadanya.

Dia melompat-lompat kegirangan. Setelah putus dengan Pangeran, aku nggak menyangka Anastasia bakal memberikan respons sesenang itu. Aku ikut tersenyum melihatnya. Kupikir, Anastasia sudah nggak memikirkan Pangeran lagi. Seharusnya begitu. Memang sudah waktunya Anastasia untuk merelakan cowok sok keren itu.

“Terus, gaun yang itu....” Aku menoleh ke arah Mama. Namun, arah mataku menunjuk ke arah tas yang belum sepenuhnya terbuka. Aku menebak, “... itu, buat Ella?”

Dengan tangannya sendiri, Mama membuka tas itu, menunjukkan gaun berwarna biru langit yang terlihat mahal. Senyum lebar menghiasi wajah Mama. “Ella pasti suka,” katanya.

Walaupun aku sedikit ragu, tapi aku tetap mengangguk. Begitu juga dengan Anastasia.

Kemudian, Mama juga mengeluarkan sepasang sepatu. Bukan sepatu biasa yang sering kulihat di pasar. Sepatu itu terlihat jauh lebih mewah, lebih mengkilap. Aku nggak bisa berhenti menganga ketika benda itu diletakkan di atas meja.

Sepasang sepatu kaca.

“Yang ini juga... Ella pasti bakal suka.” Mama meyakinkan dirinya sendiri. Dia mengangguk-angguk.

Dengan sinar penuh harap di matanya, Mama meletakkan kembali gaun dan sepatu itu di tas kertas, lalu bergegas naik ke kamar Ella. Karena sedikit khawatir, aku diam-diam menguping dari bawah tangga.

Kudengar suara ketukan pintu yang pelan, disusul dengan suara lembut Mama yang memanggil nama Ella. Pintu belum terbuka. Aku nggak dengar deritnya. Terdengar suara ketukan lagi, juga suara Mama yang memanggil dengan volume suara lebih keras. Masih nggak ada jawaban. Ella benar-benar keterlaluan. Kakiku gatal ingin ikut naik dan berteriak di depan kamarnya. Beruntung, sebelum aku melakukan hal itu, Ella sudah membuka sedikit pintunya.

“Apa, sih? Berisik.” Aku dengar suara cewek itu. Suara yang nggak berperasaan.

Bisa kubayangkan ekspresi Mama saat itu. Bibirnya pasti gemetar menahan tangis. Namun, dia tetap memberikan tas berisi gaun dan sepatu kaca itu kepada Ella.

“Aku nggak mau pakai gaun kayak gini!”

Senyum lebar Mama yang sebelumnya dia tunjukkan pada kami saat berada di ruang tamu, perlahan mulai memudar dalam bayanganku.

“Sepatu konyol apa sih ini? Aneh banget. Mana mungkin aku ke pesta pakai sepatu kayak gitu!”

Ada perdebatan kecil yang kudengar. Mama membujuk Ella untuk mencoba gaun dan sepatu itu lebih dulu, tapi Ella menolak. Terakhir, aku mendengar suara pintu yang dibanting, menutup. Bersamaan dengan itu, emosi mulai menguasai diriku.

Dengan kaki yang sudah nggak sabar, aku mulai menaiki tangga. Dari jauh, kulihat Mama yang tersungkur di lantai. Tasnya terlempar. Gaun dan sepatu yang sudah repot-repot dibelikan oleh Mama itu berserakan.

Ella bodoh sialan!

Aku berdiri di depan kamarnya. Kugedor-gedor pintunya sampai tanganku memerah. Kuteriakkan namanya dengan semua suara dan emosi yang terkumpul di dada.

Aku benar-benar nggak bisa memaafkan Ella. Apalagi setelah hari itu, Mama terkena demam tinggi.

***

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang