Lady Tremaine 8

246 70 6
                                    

Rumah yang hangat. Keluarga yang bahagia. Sebagai seorang ibu, saya hanya ingin mewujudkan itu semua. Tidak ada yang lebih saya inginkan selain melihat putri-putri saya tersenyum.

Anastasia dan Drizella berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Tidak akan saya biarkan siapa pun merenggut senyum dan tawa mereka berdua. Bahkan walaupun itu Ella, putri tiri saya sendiri.

Kalau Anda ada di posisi saya, apa yang akan Anda lakukan, Inspektur?

Menghukum Ella lebih keras lagi? Menyuruhnya agar berhenti berbohong lagi? Menyita foto dan mengunci gadis itu di kamarnya lagi? Tidak memberinya makan malam? Saya tidak tahu, Inspektur. Rasanya semua yang saya lakukan untuk Ella akan percuma. Sia-sia.

Saya tidak tahan lagi. Setelah apa yang terjadi pada Anastasia dan Drizella. Di tengah malam pesta dansa itu, saya tidak bisa berpikir jernih.

Angin malam yang dingin menerpa kulit saya. Namun, ketika melihat Ella yang duduk sendirian di bawah tangga saat itu, dada saya terasa panas. Sesak. Ingatan tentang Anastasia yang hampir bunuh diri, Drizella dengan gaun basah dan kotornya, juga percakapan tidak mengenakkan antara saya dengan guru wanita itu. Semua ingatan tentang kebohongan yang sudah Ella buat, memenuhi kepala saya. Berdengung tanpa henti.

Dengan langkah yang penuh emosi, saya menghampiri gadis itu. Bunyi sepatu hak tinggi saya menggema, semakin lama semakin cepat, seperti detak jantung saya waktu itu.

Lobi belakang sekolah yang sepi. Tangga yang memutar. Ella. Sendirian. Mata yang sama sekali tidak merasa bersalah.

Saya tidak tahu apa yang Ella lakukan di tempat itu. Dia hanya duduk dengan kaki yang diluruskan. Tepat di anak tangga yang paling bawah, dia melepas sepatu kacanya. Tangannya bergerak di sekitar pergelangan kaki, seperti sedang memijat. Entah kenapa, gaun yang dipakainya juga sedikit kotor.

“Sudah capek berdansa?” tanya saya. Tentu, dengan nada yang sarkastik.

Gadis itu tersenyum kecut. “Bukan urusanmu,” katanya. Dia memakai sepatu kacanya lagi, berdiri, lalu melangkah melewati saya, seolah saya ini orang asing yang tidak pernah dia kenal sebelumnya.

“Drizella tadi dijahili lagi.” Saya bertanya dari balik punggung Ella. “Apa kau benar-benar tidak peduli padanya?”

Tanpa berbalik untuk menghadap saya, Ella menggeleng. “Nggak,” katanya. “Aku nggak peduli.”

“Anastasia juga?”

“Aku juga nggak peduli sama cewek cengeng itu.”

“Mereka berdua itu saudaramu, lho.” Walaupun hanya saudara tiri yang tidak memiliki hubungan darah. “Anastasia dan Drizella itu selalu menganggapmu sebagai saudara.”

“Bodoh.” Tawa geli gadis itu terdengar. “Mereka berdua itu bukan saudaraku. Kau juga bukan ibuku. Kalian cuma orang asing yang seenaknya masuk ke rumahku, mengaku-ngaku sebagai keluargaku. Siapa yang lebih dulu berbohong?”

Saya menggeleng. “Kami ini benar-benar keluargamu, Ella.” Keluarga barumu.

“Keluarga palsu!” Dalam ruangan yang hening itu, Ella terkekeh. “Ibu yang palsu. Saudara yang palsu. Apa kau pikir, aku ingin hidup di dalam keluarga yang seperti itu?”

Apa yang salah? Saya tidak mengerti. Apa yang salah dengan itu semua? Keluarga impian saya. Keluarga hangat yang saya idam-idamkan.

“Aku membencimu, Nyonya Tremaine. Kau. Anastasia. Drizella.” Gadis itu menoleh. Menara jam, lonceng pertanda tepat tengah malam berdentang. “Aku benci keluarga bodoh yang kau miliki.”

Keluarga bodoh, katanya. Keluarga bodoh. Keluarga bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh. Apanya yang bodoh? Keluarga saya, walaupun tanpa kehadiran seorang ayah, keluarga kami adalah keluarga yang paling bahagia. Saya sebagai seorang ibu yang selalu peduli. Anastasia, si ceria dan pemimpi. Drizella, si tukang makan yang berhati besar. Tidak ada yang salah dengan keluarga saya. Tidak ada.

Keluarga bodoh, katanya? Justru Ella-lah yang bodoh. Gadis itu menyia-nyiakan kebaikan saya. Gadis itu menolak keluarga yang saya buat. Ella, si bodoh yang bahkan tidak bisa merelakan kematian ibu dan ayahnya.

Gadis bodoh seperti itu, tidak berhak mengejek keluarga saya.

Dengan jemari yang sudah tidak tahan lagi, saya meraih leher Ella, merasakan dinginnya kulit gadis itu. Denyut dalam pembuluh darahnya, napasnya yang mendesak, suaranya yang tidak bisa keluar, saya rasakan semua itu di dalam genggaman tangan saya. Emosi yang sudah saya pendam sejak lama, saya gunakan untuk menekan tubuh gadis itu. Menekan. Mencekik.

Gadis manja yang hanya peduli pada dirinya sendiri itu sempat melakukan perlawanan. Dia mencakar lengan saya, menendang membabi buta. Dia juga berteriak, dengan napas dan suara yang tertahan. Teriakan lemah yang tidak akan didengar oleh siapa pun.

Tengah malam, waktu yang menunjukkan awal dan akhir. Saat itu, Ella sudah terbaring lemas di lantai. Sepatu kaca bermandikan sinar bulan, berkilauan di kakinya.

***

Seperti itulah pengakuan saya, Inspektur. Saya mengakui semuanya.

Di bawah kuku Ella, ditemukan darah dan kotoran kulit, bukan? Itu darah saya. Ella mendapatkannya setelah mencakar lengan saya.

Kalau Anda masih ragu, lihatlah ini. Lengan saya. Ada bekas cakaran di situ. Lihatlah lebih dekat, Inspektur.

Apa Anda masih ragu dengan ini semua?

Percayalah, Inspektur. Saya. Hanya saya. Satu-satunya orang yang membunuh Ella. Bukan Anastasia. Bukan juga Drizella.

Jadi tolong, lepaskan kedua putri saya itu. Mereka tidak bersalah.

***

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang