Menurutmu, cinta itu apa, Inspektur?
Rasa nyaman. Rasa ingin bertemu. Nafsu. Rasa ingin memiliki. Ingin terus diperhatikan olehnya. Ingin dia selalu ada di sampingmu, membelai rambutmu, mendengarkan apa pun cerita dan permintaanmu. Rasa yang kau dapatkan ketika kau memejamkan mata, menikmati hangat aroma tubuh dan rasa manis yang menyentuh bibirmu. Napas yang kau bagi berdua bersamanya.
Aku nggak tahu bagaimana kau mengartikan kata cinta, Inspektur. Namun bagiku, cinta itu nggak lebih dari rasa percaya.
Aku percaya pada Pangeran, Inspektur. Aku mempercayakan hatiku padanya. Aku percaya bahwa dia nggak akan meninggalkan aku apa pun masalahnya.
Aku tahu itu hal yang bodoh, Inspektur. Kau boleh tertawa jika kau mau. Aku sendiri mungkin akan menertawakannya di penjara nanti.
Bisa-bisanya Pangeran mengkhianatiku. Dia lebih percaya kebohongan Ella, daripada perkataanku sendiri. Apanya yang cinta? Apanya yang percaya satu sama lain?
“Aku nggak percaya sama kau, Anna.” Di tengah lorong yang penuh murid, Pangeran memutuskan hubungan kami. “Aku kira kau cewek yang baik. Ternyata....”
“Aku... aku nggak seperti itu. Dengerin aku dulu.” Sambil menahan tangis, aku menahan lengan Pangeran yang ingin pergi. Lengan yang pernah memeluk tubuhku itu gemetar, seolah tidak ingin kusentuh lagi.
“Kau sudah jahat sama Ella. Aku sudah tahu, kau sama saudaramu selalu menjahilinya sewaktu di rumah, kalian mengurungnya di gudang, nggak memberinya makan, menyuruhnya melakukan semua pekerjaan rumah. Itu sangat kejam, kau tahu!”
Aku menggeleng dalam-dalam. “Nggak. Itu nggak benar. Aku nggak pernah ngelakuin itu.”
“Jadi kau mau bilang kalau Ella berbohong?”
Kurasakan udara yang semakin sesak. Tatapan dan lirikan sinis dari orang-orang yang ada di sekitar tempat itu membuatku sedikit ragu. Aku nggak biasa berada di tempat yang ramai, menjadi pusat perhatian, apalagi beberapa dari mereka bahkan nggak sungkan-sungkan menghampiri dan mengerumuni kami. Aku benar-benar nggak nyaman. Suaraku berhenti, ditelan kegugupan.
Ella memang berbohong! Semua yang diceritakan Ella pada kalian itu nggak ada satu pun yang benar! Andai saja aku lebih berani, aku ingin berterus terang seperti itu di depan Pangeran, membalas tatapan matanya yang penuh dengan kecurigaan. Siapa yang kau cintai, Pangeran? Siapa yang lebih kau percaya. Aku atau Ella? Andai aku bisa bertanya seperti itu padanya.
Namun, aku nggak bisa, Inspektur.
Sorot mata orang-orang yang mengerumuni kami itu sangat mengintimidasi. Setiap lirikan dan bisik-bisik yang terdengar, membuatku nggak tahan. Aku ingin lari, menyendiri di perpustakaan atau di toilet atau di mana pun itu. Aku ingin menangis, tapi yang bisa kulakukan saat itu cuma menunduk, memandangi tali sepatuku yang terikat longgar. Nggak ada yang bisa kukatakan untuk membantah. Rasanya seperti palu penghakiman sudah mengambil keputusan.
Aku yang salah. Seperti Santa Jeanne d’Arc yang dituduh telah melakukan praktik sihir dan bidah, dipaksa menandatangani dokumen abjuration, hingga berakhir di tiang salib, dieksekusi dengan cara dibakar hidup-hidup. Juga seperti sang ratu terakhir Prancis, Marie Antoinette, yang dicurigai melakukan inses, disalahkan atas jatuhnya ekonomi Prancis. Guilotine mengeksekusi mati ratu itu.
Bagaimana denganku?
Dengan semua tuduhan yang ditujukan padaku, apa aku juga akan berakhir tragis seperti mereka? Apa sejarah seperti itu akan terulang kembali, dengan aku sebagai korbannya kali ini?
“Itu nggak akan pernah terjadi, Anastasia.” Drizella menenangkanku ketika kami berada di rumah. Saudaraku itu menggulung lengan bajunya, memperlihatkan otot lengannya yang kecil dan samar. “Kan ada aku,” katanya. “Kalau Ella pulang nanti, aku akan menegurnya. Toh, Mama juga lagi nggak ada di rumah, jadi aku bisa lebih....”
Aku menggeleng, ragu. “Kupikir itu ide yang buruk, Drizella.”
“Anak itu sudah kelewatan,” dia bilang. “Aku sudah menahan emosiku selama ini. Ella, Fae, sama si songong, Alice itu sudah sering menjahili kita. Berkali-kali, aku sudah maafin. Tapi sekarang? Mereka memfitnah Mama. Mereka bilang Mama sudah melakukan hal jahat. Mereka menuduhmu. Menuduhku juga. Aku nggak bisa terus-terusan biarin Ella berbuat seenaknya.”
Apa menurutmu yang dikatakan Drizella itu benar, Inspektur?
Aku tahu, saudaraku itu punya maksud yang baik, tapi aku kadang nggak suka sama cara Drizella yang agak kasar. Sewaktu kecil, aku ingat kami sering bertengkar. Kami sering berebut remot tv, mainan, bahkan juga kue-kue. Kalau sedang emosi, teriakan Drizella itu terdengar lebih lantang, lebih keras. Dan walaupun nggak pernah memukul, dia pernah beberapa kali mencoba mendorongku sampai jatuh. Tentu saja, besoknya kami akan bermaafan dan berbaikan seperti semula.
Hanya saja, aku masih takut, Inspektur. Aku takut Drizella nggak bisa mengatur emosinya. Ketika dia menegur Ella nantinya, mungkin saja saudaraku itu akan berbuat sedikit kasar. Mungkin dia akan sedikit mendorong, berteriak pada Ella. Menjambak, atau bisa-bisa... menampar....
Nggak. Aku nggak mau itu terjadi. Sebagai keluarga, mereka nggak seharusnya bertengkar seperti itu.
Aku nggak bisa membiarkan Drizella menegur Ella. Namun di lain sisi, aku juga sudah nggak tahan. Aku ingin Ella berhenti menyebarkan kebohongan-kebohongan itu. Aku ingin dia bersikap lebih baik lagi kepada kami.
Aku ingin Pangeranku kembali.
Aku ingin Pangeran mempercayaiku lagi. Aku ingin hubungan kami yang seperti dulu. Mengobrol bebas di perpustakaan, bersama menikmati es krim sepulang sekolah, melihat kembang api, bersenang-senang di karnaval, naik rollercoaster dan masuk ke wahana rumah hantu. Aku ingin cinta pertamaku itu kembali. Aku ingin dia memelukku lagi, pelukan hangat yang sama seperti yang kuingat terakhir kali.
Ella harus mengembalikan itu semua. Tapi....
“Ella!”
Ketika aku sedang dibuat pusing dengan dilema, Ella datang. Dia masuk dari pintu depan tanpa permisi, langkahnya cepat melewati ruang tamu, tatapannya lurus, seolah hanya memiliki satu tujuan.
“Ella, berhenti!” Drizella dengan cepat berdiri dari sofa, menahan lengan Ella. “Berhenti kubilang.”
“Lepasin,” lirih Ella. Tangan kurusnya memberontak, mencoba melepaskan diri.
Drizella, jangan kasar-kasar gitu. Aku ingin berkata seperti itu, tapi lagi-lagi suaraku nggak mau keluar.
“Kenapa kau bohong kayak gitu?” Drizella mendesak, kulihat matanya melotot, nada suaranya pun meninggi. “Bodoh banget tahu, nggak. Kau ini maunya apa sih? Padahal Mama udah baik banget. Aku sama Anastasia juga nggak pernah ngganggu, kan?”
Bahu Drizella naik turun, mengikuti tarikan napas dan diafragmanya yang kembang kempis. Sementara itu, Ella diam seperti patung. Matanya tertutupi bayangan poni.
Aku ingin mendekat, ingin menenangkan emosi mereka berdua. Kalau saja aku nggak membeku karena ketakutan, mungkin aku sudah memeluk mereka berdua selayaknya saudara. Sayangnya, aku nggak bisa.
Aku tahu aku ini cewek yang nggak berguna, Inspektur. Aku cuma bisa menangis. Aku nggak bisa menghentikan pertengkaran mereka.
“Lepasin aku, Drizella.” Semakin Ella memberontak, semakin erat juga cengkeraman tangan Drizella pada lengan cewek itu.
“Aku bakal lepasin, tapi kau harus janji dulu, kau harus ngomong jujur ke semua orang yang ada di sekolah.”
Ella diam, tapi jemari-jemari mungilnya itu tetap berusaha untuk melepaskan diri.
“Kau harus bersihkan nama baik kami. Bilang ke semuanya kalau kami ini saudara yang baik. Mama juga. Mama bukan ibu tiri yang jahat.”
Lalu, sambil terus menunduk, Ella tertawa. Tawa geli yang terdengar tidak wajar keluar dari diri Ella. “Mana bisa aku ngelakuin itu, bodoh!”
Sama sepertiku, kulihat Drizella juga terkejut mendengarnya. Dia menggeleng, heran, nggak percaya. Itu pertama kalinya ada yang memaki Drizella dengan sebutan bodoh, apalagi itu datang dari mulut Ella, saudara tiri kami sendiri.
Merasakan cengkeraman Drizella yang mulai longgar, Ella menarik kuat-kuat lengannya sendiri. Berhasil. Dia bisa lepas. Sayangnya, cewek itu kehilangan keseimbangan. Dia terjungkal, lengannya terbentur sisi meja. Lebam.
Dengan luka itu, kebohongan Ella semakin dipercaya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella in Wonderland [END]
Mystery / ThrillerCinderella si pembohong itu, memang pantas untuk mati. *** Seorang gadis remaja bernama Ella Tremaine ditemukan tidak bernyawa di area lobi belakang sekolah. Ada luka lebam yang membiru di lengan dan kakinya. Gaun yang dia pakai kotor terkena noda k...