Pangeran 7

136 36 2
                                    

Anastasia tidak akan datang. Dia masih sakit dan masih dalam proses penyembuhan. Gadis itu tidak mungkin pergi ke pesta dansa. Tidak. Tidak mungkin. Diiringi suara mesin mobil dan lampu jalan yang menyala redup, aku meyakinkan diriku sendiri.

Anastasia memang seharusnya istirahat di rumah. Itu yang terbaik untuknya. Aku tidak akan mengganggu, tidak akan memaksa gadis itu untuk pergi denganku ke pesta dansa.

Ella. She's my prom date tonight.

Sesuai dengan janji kami, setelah matahari terbenam aku menjemput Ella di rumah keluarga Alice Bunn. “Aku akan menunggumu di sana,” kata Ella. Dia butuh bantuan temannya untuk membantu merias diri, aku mengerti. Bisa kubayangkan Nyonya Tremaine yang sedang merawat dan menjaga Anastasia, tidak akan punya waktu untuk membantu merias Ella.

Ding, dong! Bel rumah Alice berbunyi ketika aku memencet tombol yang ada di sebelah pagar. Fairy muncul dari balik pintu satu atau dua menit setelahnya.

“Tunggu sebentar,” ujarnya. Gadis mungil itu masih memakai kaus dan celana pendek rumahan. Rambutnya basah seperti habis mandi, aku bisa mencium bau samponya dari jarak yang cukup jauh. “Ella masih siap-siap. Mungkin sepuluh menit lagi selesai.”

Aku mengangguk, mendaratkan tubuhku di sofa ruang tamu. Jam tangan yang melingkar di lenganku menunjuk pukul tujuh. Masih ada banyak waktu sebelum acara pesta dansa dimulai. Tidak perlu khawatir.

“Mau kuambilin minum?” Fairy menawarkan.

“Air putih saja.”

Gadis itu tersenyum, langkahnya terdengar ringan ketika dia berjalan. Tiga menit kemudian, dia datang dengan membawa segelas air. Aku berterima kasih padanya, lalu dia pamit, naik ke lantai dua, ke tempat yang kuyakini adalah kamar Alice.

Aku menunggu.

Ruang tamu Alice cukup mewah dari dugaanku. Sofanya benar-benar empuk, jelas bukan dari bahan kulit sintetis murahan. Mejanya berwarna cokelat gelap, dan ada semacam ukiran bunga-bunga yang menghiasi kaki meja. Sejak awal memasuki pintu gerbang, aku sudah tahu kalau keluarga Bunn itu keluarga yang kaya. Tidak heran jika banyak gosip yang bilang kalau Alice itu anaknya sangat manja.

Rumah itu benar-benar luar biasa, Inspektur. Aku mengagumi interiornya. Namun, ada yang lebih cantik dari itu semua.

Sosok yang berjalan menuruni tangga, dengan gaun biru dan sepatu kaca yang mengkilap, rambut yang ditata sedemikian rupa. Gadis yang menjadi pemeran utama wanita dalam cerita. Ella. Aku tidak bisa memalingkan pandanganku dari dia.

“Maaf lama.”

Aku bahkan hampir tidak mendengarnya. Aku melamun. Rasanya seluruh perhatianku hanya terpusat pada satu titik.

“Bagaimana penampilanku, Pangeran?”

Aku tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya. Aku kehabisan kata-kata. “Kau terlihat... cantik.” Itu pujian paling jujur yang ada dalam kepalaku.

Senyum kecil timbul, membentuk bibir Ella.

Aku tidak salah. Keputusanku yang kubuat tidak salah. Aku bersyukur memilih Ella menjadi pasanganku.

Kuulurkan tangan menyambut gadis itu. “Ayo pergi.” Pesta dansa yang akan menjadi panggung utama kita, sudah menunggu.

***

Awalnya, itu malam yang indah, inspektur. Like a sweet dream.

Bulan bersinar terang, tidak ada awan yang menghalangi. Daun berguguran diterpa angin malam. Lalu lintas lancar, aku membawa mobil dengan kecepatan rata-rata. Musik jazz klasik dari CD player menemani obrolan kami.

Ella sebenarnya tidak banyak bicara waktu itu. Aku sesekali meliriknya lewat spion depan. Dia duduk bersandar seperti biasa, pandangannya menunduk, memandang kuku-kukunya yang sudah dikutek merah muda transparan.

“Aku suka lagu ini,” atau, “Lihat deh yang di sebelah situ.” Beberapa kali aku mencoba memancing obrolan seperti itu.

Ella merespons dengan tersenyum, mengangguk, dan berkomentar pendek seperti, “iya, iya,” atau, “Aku setuju,” atau, “Ah, iya bagus,” yang terdengar canggung.

Ini mungkin pertama kalinya Ella duduk semobil dengan seorang laki-laki, pikirku. Wajar saja kalau gadis itu sedikit grogi atau merasa tidak nyaman, sama seperti saat kami pertama kali duduk berdua di taman dulu.

Sampai saat itu, kurasa tidak ada yang aneh. Ella masih seperti dirinya sendiri. Waktu kami sampai di area sekolah pun, semuanya masih baik-baik saja.

Aku memarkir mobil di tempat yang sudah disediakan, di sebelah Chevrolet hitam yang tidak kutahu punya siapa. Tidak seperti hari-hari sekolah biasa, lapangan parkir malam itu penuh dengan mobil mewah dan bermerek terkenal. Semuanya terlihat berkilau, bahkan bannya sekali pun hitam pekat seperti ban yang baru dipasang.

Itu malam yang istimewa, Inspektur. Semua orang datang dengan penampilan terbaik mereka. Tentu saja, termasuk aku dan Ella.

Aku menyemprotkan sedikit parfum ke beberapa bagian tubuhku, lalu keluar dari mobil dengan perlahan. Tanahku memijak tanah paving yang kering, ada beberapa kerikil dan pasir. Bukan masalah besar. Sepatu dan ujung celanaku masih bersih dan mengkilap. Beruntung, tidak ada lumpur atau genangan air di sana.

Dengan langkah yang pasti, aku berjalan memutari mobil, membukakan pintu Ella.

“Terima kasih,” ucapnya. Senyum manisnya mengembang.

Ketika gadis itu mau turun dari mobil, aku menggenggam tangannya, kutuntun, agar dia tidak kehilangan keseimbangan. Ella memulai dengan kaki kirinya terlebih dahulu, sepatu kaca yang membalut kakinya memantulkan cahaya bulan. Rok bagian belakang gaunnya sedikit kusut dan tertekuk karena diduduki, tapi setelah dia mengibas-kibaskannya, penampilan gadis itu kembali sempurna.

Selayaknya pasangan, kami berjalan menuju bangunan sekolah itu dengan bergandengan tangan. Bisa kurasakan jari-jari Ella yang hangat di antara sela-sela jariku. Aku ingat sentuhannya, bahkan sampai sekarang, sampai kau menginterogasiku di tempat ini, Inspektur, rasanya tangan Ella masih menggenggam setiap inci kulit tanganku.

Di area lobi depan, ada beberapa orang yang menyapa kami. Sebagian besar dari mereka adalah teman-teman sekelasku, tapi tidak sedikit juga yang berasal dari kelas Ella. Mereka semua memuji penampilan kami: Bagaimana keanggunan Ella dalam balutan gaun bergaya Victoria-nya, sepatu kaca yang tidak biasa, rambutnya yang kelihatan tebal dan halus, lalu dicocokkan dengan penampilanku yang memakai jas dan celana berwarna gelap, postur tubuhku yang ideal.

Orang-orang itu bilang kalau mereka tidak pernah menyangka aku akan berpasangan dengan Ella. Namun, mereka juga mengakuinya. Aku dan Ella cocok satu sama lain. Kami serasi. Beberapa dari mereka bahkan mendoakan hubungan kami agar bisa berlanjut ke tahap selanjutnya.

Tidak mungkin.

Untuk saat ini, semuanya sudah tidak mungkin. Benar kan, Inspektur?

Aku bersyukur, malam itu adalah malam terakhirku bersama dengan Ella.

***

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang