Lady Tremaine 7

238 67 4
                                    

“Apa Anastasia cemburu?” tanya Anda?

Setelah melihat Pangeran dan Ella berdansa di tengah aula, di bawah lampu gantung mewah, lilin-lilin yang bersinar lembut. Ella dengan gaun dan sepatu kacanya, berpasangan dengan Pangeran yang disukai oleh putri saya, Anastasia.

Bisa Anda bayangkan, Inpektur? Keromantisan dua remaja itu. Kedekatan mereka. Ella meletakkan tangannya di pundak Pangeran, begitu juga dengan Pangeran yang memeluk pinggul Ella dengan satu tangannya. Mereka bergerak pelan, mengikuti alunan musik yang seolah diciptakan hanya untuk mereka berdua. Tatapan hangat mereka, senyum mereka. Sudah jelas Anastasia cemburu, Inspektur. Tidak perlu Anda tanyakan lagi. Apalagi setelah melihat hal itu, Anastasia buru-buru pergi menjauhi aula pesta.

Dengan tangan yang menutupi hidung dan mulut, menahan tangis, Anastasia berjalan cepat melewati lorong, menerobos kerumunan yang penuh dengan wajah-wajah penasaran.

“Anastasia!” Saya berteriak, memanggil nama putri kesayangan saya itu. Berkali-kali. Saya ingin menenangkannya. Namun, gadis itu terus lari. Lari. Lari. Hingga jauh, ke toilet belakang sekolah. Anastasia, putri saya, mengunci dirinya di dalam salah satu bilik toilet yang ada di sana. Menangis sendirian.

Saya ingat saya pernah dengar dari Drizella. Setelah dijahili teman sekelasnya, biasanya Anastasia juga akan berdiam diri, bersembunyi di toilet lantai dua itu untuk waktu yang cukup lama.

Saya mengerti kenapa Anastasia memilih tempat ini untuk menyendiri. Selain jauh dari keramaian, toilet ini juga bisa dibilang nyaman. Bersih. Tidak bau. Rasanya saya juga bisa berteriak dan menangis sepuasnya.

 Di depan bilik toilet yang terkunci, saya berdiri, bersandar, mendengar setiap isakan yang terdengar dari dalam. Patah hati pertama yang Anastasia rasakan.

“Tidak apa-apa.”

Hanya itu yang bisa saya katakan untuk menenangkannya.

Saya tahu, tidak ada yang bisa saya salahkan untuk masalah yang satu ini. Bukan salah Anastasia yang terlambat memilih pasangan. Juga bukan salah Ella. Walaupun memang terkesan curang, tapi Ella tidak salah. Yang gadis itu lakukan hanya berdansa dengan Pangeran. Tidak ada yang melarangnya untuk itu. Bahkan kalaupun Ella benar-benar jatuh cinta dengan laki-laki itu, itu sama sekali bukan salah Ella.

“Anastasia, Mama tahu kamu suka dengan Pangeran. Tapi....” Saya takut, saya tidak bisa melanjutkan kalimat itu.

Rasanya hampir satu jam, saya dan Anastasia berdiam diri di sana. Ketika saya pikir Anastasia sudah tenang---Tangisannya berhenti---saya berniat untuk kembali ke aula.

Drizella. Gadis itu seharusnya ada di sana. Setelah saya mengejar Anastasia, saya tidak tahu apa yang terjadi pada putri saya itu. Drizella... seharusnya baik-baik saja. Dia pasti sibuk mencicipi makanan, pikir saya.

Sayangnya, tidak.

Drizella ada di tengah lorong. Sekumpulan gadis mengerumuninya, mengejek, tertawa.

“Ups, saudara tiri yang jahat, maaf ya. Aku numpahin minuman ke gaun bagusmu.”

“Aduh, Alice, kau ini ngomong apa sih, yang dipakai Drizella itu bukan gaun, tapi cuma kain lap.”

“Oh ya? Ahahaha! Pantas saja kotor begitu.”

“Belepotan cokelat sama saus.”

“Ahahaha!

Mendengar itu dari jauh saja, rasanya telinga saya sudah panas. Dengan segera, saya mendekati mereka, mengusir, menjauhkan gadis-gadis tidak tahu diri itu dari putri saya.

“Ih, ibu tiri yang jahat datang.”

“Ayo pergi, Fae.”

“Ayo, ayo. Kalau nggak pergi, nanti malah kita yang malah disiksa semalaman. Disuruh tidur di gudang.”

Diiringi suara hak sepatu mereka yang menggema, gadis-gadis itu tertawa lagi..

Gadis itu tidak penting. Yang terpenting adalah Drizella, putri saya yang malang. Sama seperti perkataan gadis-gadis itu, gaun yang dipakai Drizella tampak kotor. Bagian pinggang dan roknya sedikit basah terkena jus. Lalu juga ada noda-noda cokelat dan saus yang belepotan. Sepertinya itu juga ulah mereka.

“Drizella, kamu dirundung lagi?” Saya tahu itu pertanyaan yang bodoh. Dilihat dari mana pun jelas kalau Drizella sudah dijahili.

“Ella,” lirihnya. Suara yang begitu pelan itu tertutupi oleh gemuruh musik. Saya hanya bisa membaca gerakan bibirnya. Ella. Tidak salah lagi, memang itu yang dia katakan.

Ella. Ella. Ella. Ella. Apa lagi yang gadis itu lakukan kali ini? Bukankah dia sudah berjanji akan menghentikan kebohongannya? Bukankah dia sudah berjanji tidak akan membiarkan siapa pun merundung Anastasia dan Drizella lagi?

Seharusnya saya sudah tahu. Lagi-lagi itu hanya kebohongan.

“Di mana Ella sekarang?” tanya saya.

Drizella tidak menjawab. Yang dilakukan putri saya itu cuma menunduk, lalu menggeleng pelan.

Tanpa petunjuk yang pasti, saya memaksakan langkah saya ke aula. Di tempat itulah saya terakhir kali melihat Ella. Seharusnya gadis itu ada di sana, masih berdansa dengan Pangeran, atau sedang memakan camilan bersama gerombolan teman-teman tukang gosipnya. Seharusnya saya bisa menemukan Ella di tempat itu.

Tidak ada.

Ella tidak ada di sana. Dari ratusan murid remaja dan guru-guru yang berkumpul di ruangan besar itu, saya tidak bisa menemukan sosok Ella. Sosok bergaun biru dengan sepatu kaca itu seperti lenyap begitu saja.

“Nyonya Tremaine, apa yang Anda lakukan di sini?” Seorang guru, wali kelas Ella mendatangi saya. “Ini acara untuk murid-murid. Ada keperluan apa....”

“Maaf,” saya potong kalimat guru wanita itu. “Apa Anda melihat Ella. Ella pergi ke mana?”

Guru itu terlihat bingung. Ia mengernyit dan tatapannya penuh dengan rasa curiga. “Kenapa Anda mencari Ella,” tanyanya. “Ella baik-baik saja di sini. Dia senang berada di pesta dansa ini.”

“Saya hanya ingin Ella....”

“Apa Anda ingin membawa Ella pulang, mengurungnya di gudang, atau memaksanya membersihkan seluruh rumah sendirian?”  Wanita itu tersenyum kecut. “Maaf, Nyonya Tremaine. Saya tidak ingin ikut campur dalam masalah rumah tangga Anda. Saya tidak tahu kenapa lembaga perlindungan anak tidak pernah menangkap Anda. Namun saya minta, berhentilah menyiksa Ella. Ella itu gadis yang baik.”

Saya menggeleng, tidak habis pikir. “Lembaga perlindungan anak tidak pernah menangkap saya karena saya memang tidak pernah menyiksa Ella. Tidak pernah sekali pun.” Itu hanya kebohongan yang Ella buat. Saya ingin menegaskan. Akan tetapi, rasanya percuma kalau saya yang menjelaskan. “Di mana Ella?” tanya saya, sekali lagi.

Wanita itu mengangkat pundak.

Tanpa banyak kata lagi, saya keluar dari tempat itu. Saya berkeliling tanpa tujuan pasti, bertanya ke beberapa orang yang saya temui. Tetap, tidak ada yang tahu. Tidak ada yang ingin memberi tahu.

Dengan kaki yang mulai lelah, saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke toilet belakang sekolah, tempat Anastasia mengurung diri. Saya berniat untuk mengecek kembali kondisi putri saya itu. Apa dia sudah merasa lebih baik atau belum.

Namun, sebelum sampai di area toilet, saya lebih dulu melihat sosok Ella. Seperti sudah ditakdirkan. Saya yang hampir menyerah mencari, tiba-tiba saja gadis itu ada di depan saya. Gadis cantik dengan gaun dia sepatu kaca.

Putri tiri saya. Gadis yang menolak semua pemberian saya. Gadis yang tidak pernah menganggap saya sebagai ibunya. Tidak pernah menganggap kami sebagai keluarganya.

Di tempat itu, saya membunuhnya.

***

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang