Anna.
An... na.
Kapan ya, terakhir kali aku menyebut nama gadis itu?
Anna. Dia suka nama panggilan yang kuberikan untuknya itu. Aku masih ingat, ketika gadis itu duduk di hadapanku, tangan kurusnya ada di atas meja, membalik halaman buku dengan lembut. Sedetik pun, aku tidak bisa memalingkan pandangan darinya, Inspektur. Dengan rambut yang mencuat dari belakang telinganya, sisi wajah yang terkena cahaya matahari. My dearest one. Anastasia.
“Anna.”
Dia biasanya memberikan senyum manisnya ketika kupanggil. Namun, sorot mata gadis itu sering kali berkata yang sebaliknya
“Kau yakin, kau tidak kenapa-kenapa?”
Obrolan terakhir kami, masih terekam jelas di dalam kepalaku. Jam makan siang. Hari yang panas. Anastasia yang membicarakan Santa Jeanne d’Arc dan Ratu Marie Antoinette. Sudut matanya yang berair, hidung memerah, dan juga... senyum sedih yang dipaksakan.
“Alice dan teman-temannya itu mengganggumu lagi?”
Anastasia tidak menjawab. Dia membenamkan wajahnya di balik poni. Jari lentiknya menekan ujung lembaran kertas kuat-kuat. Melihat reaksinya, itu kuyakin jawabannya iya. Sama seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, Anastasia pasti dijahili lagi.
“Mereka mengejek dan melemparimu dengan bola kertas lagi?” Itu bukan pertanyaan. Aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya ingin Anastasia mengakuinya. “Cepat atau lambat, kau harus melaporkan perbuatan mereka, tahu.”
“Aku... nggak bisa, Pangeran.”
Anastasia terlalu penakut, Inspektur. Aku mengerti. Semakin dekat hubungan kami, semakin aku mengerti bagaimana karakteristik Anastasia. Bukan hanya pintar dalam hal akademis, gadis itu juga pintar dalam menyembunyikan perasaannya sendiri. Di hadapanku, dia bisa tersenyum selayaknya gadis remaja biasa. Namun aku tahu, perisakan yang dilakukan teman-teman sekelasnya itu sering kali membuat Anastasia menangis.
“Dia sering menyendiri di toilet.” Suatu hari, Drizella, saudara Anastasia, pernah memperingatiku. “Awas saja kalau kau mempermainkan perasaannya. Nggak akan kumaafkan!”
Drizella jauh lebih kasar dari Anastasia. Aku pernah dengar gosip yang berkata kalau Drizella itu sering beradu mulut dengan teman-teman sekelasnya, sering melemparkan sumpah serapah dan kata-kata kotor. Drizella itu tempramen, katanya. Namun, kurasa kedua saudara itu tidak jauh berbeda. Di bawah tekanan yang mereka alami, tentu saja mereka tidak ingin melaporkan kasus perisakan itu pada siapapun.
Aku mengerti, baik Drizella maupun Anastasia, pasti tidak akan mau dicap sebagai pengadu. Aku pernah dengar, banyak korban perisakan yang mengadu ke guru atau orang tua mereka, tapi pada akhirnya itu percuma saja. Malah yang ada, si korban malah dijauhi dan tidak bisa mendapat teman.
And then, what should i do, Inspectore?
Sebagai seorang karakter utama yang peduli pada love interest-nya, apa yang bisa kulakukan untuk Anastasia?
Aku tidak mau melihat gadis yang kusuka itu murung dan menangis setiap hari. Aku ingin melindung Anastasia, seperti Crown yang selalu melindungi Anna setiap ada penjahat yang berusaha mencelakainya. Aku harus melakukan sesuatu, Inspektur. Jika aku ingin melihat senyum manis Anastasia itu sekali lagi, itu berarti aku harus bertindak.
Aku harus menemui Alice dan Fairy. Drizella memberitahuku, dua nama itulah yang sering mengganggu Anastasia. Sosok antagonis yang selalu menghalangi kebahagiaan gadis yang kusuka.
Bagaimana wajahnya? Suaranya? Orang-orang kejam yang sudah menjahili Anastasia itu, aku ingin tahu.
Sambil berjalan menuju kelas mereka, aku mulai membayangkan seorang monster buruk rupa yang haus darah, sosok bergigi runcing dan kotor, penyihir tua yang keriput, binatang-binatang buas yang berkeliaran di hutan kegelapan. Alice dan Fairy. Aku tidak sabar untuk melihat wajah mereka. Sosok antagonis yang akan melengkapi ceritaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella in Wonderland [END]
Mystery / ThrillerCinderella si pembohong itu, memang pantas untuk mati. *** Seorang gadis remaja bernama Ella Tremaine ditemukan tidak bernyawa di area lobi belakang sekolah. Ada luka lebam yang membiru di lengan dan kakinya. Gaun yang dia pakai kotor terkena noda k...