Drizella 6

136 45 5
                                    

Aku masih bisa merasakannya, Inspektur.

Tekstur lembut yang memenuhi telapak tanganku. Berat tubuh Ella. Dingin yang menjalar dari balik punggung cewek itu. Suaranya. Tatapannya. Detik-detik di mana semuanya terlihat lebih rapuh. Bulan yang bersembunyi di balik awan.

Emosi yang memenuhi diriku waktu itu, aku mengingatnya.

Dengan balutan gaun pemberian Mama, aku turun dari mobil. Sepatu hak tinggi yang kupakai mengeluarkan bunyi “tuk” ketika pertama kali menyentuh tanah, jalur paving yang membelah taman, lurus menuju pintu lobi depan sekolah. Mama berjalan di antara kami, menuntun, selayaknya seorang ibu yang pertama kali mengantarkan anaknya pergi ke sekolah.

Anastasia berjalan dengan menunduk. Rambutnya yang panjang menutupi sisi-sisi wajah. Dengan make up yang dipoleskan Mama, sosok kutu buku itu terlihat lebih cantik. Hanya saja, ada keraguan di matanya. Dia takut. Semakin masuk melewati lorong, aku tahu, saudaraku itu nggak berani menatap balik cewek-cewek tukang gosip yang meliriknya dengan sinis.

Aku memang nggak terlalu terkejut dengan sifat Anastasia yang seperti itu. Memang begitulah dia. Namun, berbeda dengannya, aku nggak tahan jika ada orang yang melirikku seperti itu. Aku lebih memilih untuk balas melirik, berjalan dengan kepala mendongak.

“Lihat deh, wanita tua itu ngapain datang ke sini sih?”

“Mereka datang sama ibu mereka, hahaha!”

“Ini pesta dansa, tahu. Bukan pesta ulang tahun anak SD.”

Bisik-bisik. Bisik-bisik. Bisik-bisik. Bisik-bisik. Yang berani mereka lakukan cuma bisik-bisik. Di belakang kami, dengan tangan yang menutupi mulut, suara yang hanya bisa didengar oleh mereka sendiri. Senyum yang bodoh. Idiot. Mereka menertawakan Mama. Mama yang mengantar kami sebagai bentuk perhatian dan kasih sayangnya, dianggap lucu oleh mereka.

Sumpah, tanganku terus terkepal selama kami berjalan di lorong menuju aula itu, Inspektur. Aku ingin meledak. Namun ketika sampai di depan aula utama, tempat pesta dansa itu diadakan, aku baru sadar aku melupakan sesuatu.

Ella berpasangan dengan Pangeran. Anastasia belum kuberi tahu.

Bisa kau bayangkan bagaimana ekspresi Anastasia saat melihat hal itu, Inspektur? Ella berdansa dengan Pangeran. Itu mungkin sesuatu yang nggak akan pernah Anastasia bayangkan sebelumnya. Mimpi buruk yang benar-benar nyata.

Aku melihatnya. Detik-detik saat pupil mata Anastasia membesar, air mata yang mulai muncul dari pelupuk. Bibir gemetar, dan gelengan kecil yang menolak untuk percaya. Bersama dengan semua perasaan yang meluap, Anastasia berbalik. Dia berlari meninggalkan aula utama. Mama mengikutinya.

Apa yang aku lakukan?

Aku juga ikut berlari, Inspektur. Di belakang Mama, aku juga ikut mengejar Anastasia. Namun, dengan badan besarku, aku tertinggal jauh. Aku nggak bisa mengikuti pergerakan mereka. Anastasia dan Mama terlalu cepat. Aku tersandung beberapa kali. Sepatu hak tinggi dan gaun panjangku juga mengganggu.

Akhirnya, Aku memutuskan untuk berhenti.

Ada Mama di samping Anastasia. Dia seharusnya baik-baik saja. Aku nggak perlu khawatir.

Ella. Entah kenapa emosiku tertuju padanya. Aku tahu dia merencanakan sesuatu. Dia sengaja berdansa dengan Pangeran, menjadi pasangannya, hanya untuk membuat Anastasia cemburu.

Kau juga sepemikiran denganku kan, Inspektur?

Karena itu aku kembali ke aula utama. Aku berjalan dengan langkah cepat melewati lorong. Lirikan sinis lagi-lagi kudapatkan dari orang-orang yang berdiri di sana, tapi itu nggak penting. Aku hanya bergerak lurus, tatapan mataku hanya tertuju pada satu titik. Ella. Aku ingin mendorongnya, menjatuhkannya di tengah-tengah aula. Menghajar cewek nggak tahu diri itu sampai mimisan.

Cinderella in Wonderland [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang