Bisa kau bayangkan, Inspektur? Ella menunjukkan lebam di lengannya itu kepada Fairy dan Alice, kepada teman-teman sekelas.
“Kemarin Drizella memukulku,” katanya, memamerkan luka yang sebenarnya dia peroleh karena terjatuh. Tentu saja, dengan wajah melas yang dibuat-buat.
“Ih, jahat banget!”
“Kok bisa, sih?”
“Kamu nggak apa-apa, kan? Kukira Drizella itu cewek baik-baik.”
Teman-teman yang sebelumnya nggak percaya dengan gosip itu pun, perlahan mulai menaruh simpati pada Ella. Beberapa dari mereka bahkan menyarankan Ella untuk beristirahat dulu di UKS, mengobati luka-lukanya dengan antiseptik. Namun, Ella menggeleng sewaktu mendengar saran itu.
“Nggak.” Ella memasang senyum sendu, memijit-mijit sendiri area yang membiru di lengannya itu. “Aku sudah biasa. Luka kayak gini doang palingan juga dua hari lagi sudah sembuh.”
Lirikan demi lirikan pun dilayangkan kepada kami. Sorot mata yang menuduh, memandang rendah, mengadili. Membenci. Tatapan yang tadinya menaruh simpati pada Ella itu, sekarang berbalik menyerang kami.
“Kenapa sih kalian jahat begitu?”
“Ella itu saudara kalian sendiri, loh!”
“Masa kalian begitu sih sama dia.”
Drizella yang duduk di sebelahku mulai mengepalkan tangan. Kulihat wajahnya memerah, napasnya pun mulai nggak teratur. Sebelum aku sempat menenangkan saudaraku itu, dia sudah lebih dulu berteriak ke kerumunan yang mengelilingi meja Ella.
“Kalian itu bodoh banget, sih!” Drizella berdiri dari mejanya, jemarinya menunjuk lurus ke arah Ella. “Kalian nggak sadar ya? Kalian itu sudah dibohongi sama cewek busuk itu. Semua yang dia bilang itu nggak benar!”
Lalu Drizella mulai menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ketika dia mencengkeram kuat lengan Ella hari itu untuk meminta penjelasan. Ketika Ella berusaha melepaskan diri. Ketika Ella terjatuh dan lengannya terbentur kaki meja. Drizella menceritakan semuanya secara lengkap. “Aku nggak mukul Ella sama sekali,” ujarnya. “Dia yang jatuh sendiri!”
Namun, apa kau tahu yang terjadi setelah itu, Inspektur?
Ada bola kertas yang meluncur, mengenai tepat ke kepala Drizella. Aku menoleh ke sudut kelas, ke arah datangnya bola itu. Alice dan Fairy. Mereka... mereka tersenyum, tertawa geli melihat wajah Drizella yang semakin memerah.
“Pembohong!” Alice berteriak dari jauh.
“Ngaku saja deh, kalian kan memang sudah sering menyiksa Ella, kan?” Fairy menimpali. “Sudah ada buktinya, tuh.”
Rasanya, semua yang ada di kelas itu mulai berbisik-bisik. Setiap orang yang melirik sinis ke arah kami. Barisan meja. Kursi. Buku yang tergeletak sembarangan. Bahkan pulpen di atas meja pun seperti mengeluarkan suara, samar-samar ikut menuduh kami.
Hari-hari berikutnya, benar-benar terasa berat, Inspektur. Hanya ada kenangan buruk. Memori-memori yang ingin cepat-cepat kulupakan.
Kalau biasanya hanya ada Fairy dan Alice yang menjahili kami, sejak hari itu jumlah teman-teman yang mengganggu aku sama Drizella jadi lebih banyak. Bola-bola kertas beterbangan dari segala sisi, kata-kata kasar seperti “cewek pembohong”, “penyiksa”, “saudara tiri jahat”, tertulis di dalam bola kertas itu, sama seperti coretan-coretan yang memenuhi meja kami. Semuanya bertinta hitam. Tulisan tangan acak-acakan.
Nggak cuma di kelas, di koridor pun aku sama Drizella juga sering diganggu. Selalu ada satu atau dua orang yang berusaha menjegal kaki kami sewaktu kami sedang berjalan. Loker, tempat kami menyimpan buku dan barang-barang juga jadi sasaran. Lewat celah kecil, mereka menyisipkan surat-surat hinaan, dan juga kotoran seperti... bungkus bekas makanan. Bungkus yang penuh dengan minyak lengket dan saus menjijikkan. Bisa kau bayangkan itu, Inspektur? Bisa kau bayangkan kotor dan baunya loker kami itu?
Sumpah. Aku nggak tahan.
Padahal, Pangeran pernah menyisipkan surat cintanya ke dalam loker itu. Ada fotoku dengannya yang tertempel di pintu loker. Tapi sekarang, semuanya jadi penuh dengan sampah. Kau bisa mengeceknya sendiri kalau kau mau. Kuncinya ada di dalam tas.
Ah, jadi tim forensik sudah memeriksanya, ya? Aku nggak menyangka kalian bisa bekerja secepat ini.
“Luka sayat di lengan?” tanyamu?
Jadi kau menyadarinya ya, Inspektur? Kau punya mata yang bagus, ya. Padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya.
Aku sedikit malu mengatakannya, tapi ya... mungkin kau sudah menduganya. Aku pernah mencoba untuk bunuh diri.
Maaf, Inspektur. Bukan bermaksud untuk menutup-nutupi. Hanya saja, aku merasa nggak nyaman membicarakannya.
Bunuh diri itu kata yang menyedihkan. Terdengar lemah. Aku lebih suka menyebutnya “eksekusi diri sendiri”. Kau tahu, seperti Santa Jeanne d’Arc atau Ratu Marie Antoinette. Wanita-wanita itu bisa berdiri dengan gagah di depan kematian yang mengerikan. Dibakar atau dipenggal, mereka nggak takut sama sekali. Karena kehidupan yang mereka jalani sebelumnya lebih kejam,
Kupikir, aku bisa seperti mereka, Inspektur. Mati dengan rasa bangga, tanpa ada rasa penyesalan. Tanpa ada yang mengganggu dan menjahiliku lagi. Dengan “eksekusi diri sendiri” yang kulakukan, kupikir aku bisa lebih bebas.
Namun seperti yang kau lihat, Inspektur. Aku gagal. Aku nggak mati. Aku masih ada di sini, kau menginterogasiku, dan aku menceritakan semuanya padamu.
Mama yang menyelamatkanku, Inspektur. Aku nggak tahu harus sedih atau senang. Padahal aku sudah menyiapkan diri. Padahal aku sudah susah-susah memberanikan diri. Di kamar mandi yang sudah kukunci itu, aku memegang silet dengan jari-jari yang gemetaran. Sensasi dingin dari besi tajam saat benda itu menyentuh kulitku sedikit membuatku ragu. Takut.
Satu, dua, tiga..., kuucapkan dari dalam hati. Terus menerus. Berulang-ulang. Satu, dua, tiga, satu, dua, tiga. Aku berusaha menguatkan diri sendiri. Hingga akhirnya... satu goresan kecil itu tercipta. Darah. Darahku. Cairan merah itu keluar dari tempatnya, mengalir, melewati pergelangan tangan. Jatuh ke atas ubin basah.
Ketika tubuhku mulai melemas dan semuanya menjadi lebih redup, kupikir aku akan mati, Inspektur. Kupikir aku akan pergi ke dunia yang indah, Inspektur. Taman penuh bunga, tempat aku dan Pangeran bisa bersama selamanya. Surga, atau Wonderland, atau apa pun itu istilahnya.
Sayangnya, aku terbangun di dunia ini lagi.
Di rumah sakit. Mama duduk tertidur sambil menggenggam tanganku. Aku memanggilnya, menyebut namanya. Sewaktu bangun, Mama tersenyum penuh haru, air matanya menetes ketika memelukku.
Untuk sesaat, aku merasa senang masih bisa hidup, Inspektur.
Mama dan Drizella menjenguk dan menemaniku setiap hari. Bahkan... Ella juga.
“Ella sudah janji ke Mama.” Suatu hari di rumah sakit, Mama memberitahuku. “Dia bakal berhenti bohong, terus juga bakal nyuruh teman-temannya berhenti ganggu kalian lagi.”
Rasanya benar-benar sulit dipercaya.
Mama bilang, “Mama sudah menghukum Ella.”
Aku yang masih mengerti, bertanya lebih lanjut kepada Mama.
“Mama ambil foto dia sama ibu kandungnya yang ada di kamar. Mama sita.”
Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin waktu itu aku merasa sedikit kasihan pada Ella. Aku tahu dia sangat merindukan sosok ibu kandungnya itu. Tapi, aku yang waktu itu masih lemah Nggak terlalu bisa berkomentar. Nggak.
Karena yang ada di pikiranku saat itu cuma Pangeran.
Pangeran yang datang menjengukku, membawakanku sekeranjang buah segar. Pangeran yang tersenyum lagi kepadaku. Aroma tubuhnya yang kurindukan, kulit hangatnya yang ingin kusentuh sekali lagi. Suaranya... suara yang menyebut namaku dengan penuh perasaan.
“Get well, Anastasia.” Bisa kau bayangkan, Inspektur. Pangeran berkata seperti itu padaku. “Can’t wait to see you smile again.”
Bisa kau bayangkan betapa malunya aku saat itu, betapa merahnya wajahku. Betapa senangnya hatiku melihat wajahnya lagi, menatap lurus ke arah matanya yang berbinar. Cinta pertamaku. Lalu kenapa... dia....
KenapaKenapaKenapaKenapaKenapaKenapaKenapa!
Kenapa Pangeran malah berdansa dengan Ella, Inspektur?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella in Wonderland [END]
Mystery / ThrillerCinderella si pembohong itu, memang pantas untuk mati. *** Seorang gadis remaja bernama Ella Tremaine ditemukan tidak bernyawa di area lobi belakang sekolah. Ada luka lebam yang membiru di lengan dan kakinya. Gaun yang dia pakai kotor terkena noda k...