Kurasa, semua orang di sekolah itu kenal dengan Pangeran. Aku sering dengar nama cowok itu disebut-sebut dalam obrolan. Di kantin, di koridor, di toilet, di ruang ganti, hingga di kelas. Banyak gosip yang beredar tentang dia. Tentu saja, gosip itu termasuk tipe gosip yang baik. Yang penuh pujian.
“Pangeran dapat nilai sempurna lagi di ujian matematika.”
“Waktu debat bahasa inggris kemarin, Pangeran juga terlihat fasih banget!”
“MVP tim basket sekolah itu memang hebat!”
“Kemarin aku lihat Pangeran ngebantu nenek-nenek nyeberang jalan, lho!”
“Suara pangeran juga merdu banget. Kau ingat pentas seni tahun lalu, saat Pangeran tampil di atas panggung. Aku sampai mau nangis waktu dengar nyanyian Pangeran.”
Pangeran itu populer. Pangeran itu berbakat. Pangeran itu pintar. Pangeran itu baik. Pangeran ini. Pangeran itu. Pangeran ini. Pangeran itu. Pangeran, Pangeran, Pangeran, Pangeran. Setiap hari, rasanya selalu ada gosip baru tentang cowok itu. Dari cerita yang heboh sampai cerita yang sepele, Pangeran selalu bisa menjadi bahan perbincangan.
Awalnya, aku nggak terlalu percaya sama gosip-gosip itu.
Itu pasti gosip yang dilebih-lebihkan, pikirku. Cowok ideal dan sempurna seperti itu hanya ada di cerita fiksi. Pangeran nggak mungkin se-perfect itu.
Namun, aku salah, Inspektur.
Ketika aku melihat lebih jauh ke dalam mata gelap cowok itu. Ketika aku bisa mencium bau tubuhnya yang mengingatkanku pada aroma musim gugur. Ketika aku merasakan dadaku yang berdegup kencang, memanas, hanya karena dia berdiri di hadapanku dengan tangannya yang terulur, memberikan sebungkus kecil tisunya padaku.
“Terima kasih.” Dengan lirih, hanya itu yang bisa kukatakan.
Kuterima tisu itu. Lalu, kubersihkan jejak-jejak air mata yang sebelumnya mengalir di pipi, juga yang masih menggenang di pelupuk mata. Aku berkedip beberapa kali, memastikan nggak ada lagi air mata yang tersisa. Cowok itu masih ada di sana, seolah menungguku untuk berdiri dan membalas senyumnya.
Di perpustakaan. Di balik rak ensiklopedia. Saat matahari di luar sedang panas-panasnya. Aku nggak pernah menyangka, ada cowok yang berbuat sebaik itu padaku. Apalagi, cowok itu adalah Pangeran. Pangeran yang diidola-idolakan semua orang.
“Perpustakaan itu bukan tempat untuk menangis, tahu.”
Suaranya yang berat, entah kenapa terdengar menenangkan.
“Maaf,” lirihku.
“Kenapa?”
“Karena kau bilang perpustakaan bukan tempat untuk menangis. Dan aku....”
Pangeran menggeleng, tatapannya penuh simpati ketika memandangku. “Maksudku, kenapa kau menangis?” Dia menurunkan tubuhnya, duduk di sebelahku seperti seorang teman yang siap mendengarkan apa pun masalahku.
Setelah menghela napas panjang, aku mulai cerita tentang Alice dan Fairy kepada Pangeran, tentang kejahilan yang mereka lakukan hari itu: Mencorat-coret bukuku, melempariku dengan bola kertas selama jam pelajaran, lalu yang paling parah, menjegal kakiku hingga aku jatuh dan makanan yang kubawa tumpah semua di kantin, menjadi tontonan dan bahan tertawaan orang-orang di sana.
“Itu sih, sudah termasuk bullying,” komentar Pangeran. “Kau harus melaporkannya.”
“Aku tahu. Tapi....” Aku nggak bisa. Aku nggak berani melaporkan hal itu ke guru. Aku nggak yakin. Bisa-bisa, nanti aku malah dicap sebagai pengadu dan jadi semakin sering diganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella in Wonderland [END]
Mystery / ThrillerCinderella si pembohong itu, memang pantas untuk mati. *** Seorang gadis remaja bernama Ella Tremaine ditemukan tidak bernyawa di area lobi belakang sekolah. Ada luka lebam yang membiru di lengan dan kakinya. Gaun yang dia pakai kotor terkena noda k...