38 • Cita-cita Lain

178 35 25
                                    

~ Biarkan semua berjalan dengan sendiri, entah itu baik atau buruk ~

•••

"Kamu serius mau masuk kedokteran?" Pertanyataan itu menghentikan langkah Amelda, ia menoleh pada kedua orang tua dan adik kecilnya yang sedang menempati meja makan.

"Iya." Amelda menarik kursi, bergabung dengan mereka.

"Nggak mau ngambil kuliah bidang seni atau seni tari aja, Kak?"

Amelda menyipitkan mata pada Denalda, adiknya. "Apaan sih, lo! Orang gue mau jadi dokter anak."

Wanita cantik berkacamata menatap putri sulungnya lekat. "Apa kamu yakin, nggak mau ngambil kesempatan itu? Dr. Alex bilang operasi memungkinkan karena kaki kamu cepat mengalami regenerasi dan mungkin pulih seperti sedia kala."

"Nggak, Mah. Nggak usah," tolak Amelda.

"Padahal, Kak Mel kemungkinan bakal bisa balet lagi setelah operasi."

"Gue nggak mau melakukan balet lagi," tekan Amelda yakin pada Denalda, meski keinginan itu bertolak belakang dengan perasaan di hatinya.

Suasana mendadak hening saat Amelda meletakan sendok dan garpu terbalik di piring. Tanda ia telah selesai sarapan.

"Amelda," panggil Lemos, ayahnya.

"Iya, Yah?" Amelda mengalihkan perhatian penuh pada Lemos.

"Ayah dengar, kamu nemuin Natalia," ujar Lemos, menarik atensi seluruh anggota keluarga kecilnya. "Ada urusan apa kamu bertemu dia?"

Amelda menatap Lemos waswas, berusaha untuk tetap bersikap tenang.

You should get away oh oh ~~

Tersenyum lega, Amelda terselamatkan oleh panggilan telepon dari Miranda.

Tanpa perlu menjawab pertanyaan Lemos, Amelda menajuh dari meja makan untuk berbicara dengan Mirada di telepon.

"Gue dengar lo daftar SNMPTN kedokteran, Mel?  tanya Miranda membuka percakapan.

"Iya. Kalau lo di mana?" Amelda bertanya balik, ingin tahu pilihan sahabatnya.

"Gue belum tahu, mau di mana. Tapi, gue dengar Daffa juga daftar kedokteran di universitas yang sama kayak lo."

"Hah? Seriusan lo ...." Amelda berhenti berucap, lalu memutus sambungan telepon saat sang adik berjalan mendekat.

"Kak Mel, Adek pamit, berangkat sama Ayah."

•••

Tiga serangkai itu berkumpul setelah sekian lama. Kamar Ujang selalu menjadi tempat nongkrong favorite mereka saat berada di luar sekolah.

"Lo yakin nolak beasiswa ke luar negeri?" Ujang menuang sirup di gelasnya yang telah kosong, menyeruput tidak sabaran untuk menghilangkan dahaga siang ini.

Kipas angin menjadi solusi alternatif, di tengah gempuran panas matahari dan udara pengap di ruangan tersebut. AC yang biasanya menjadi pendingin di ruangan itu, mendadak rusak tanpa sebab.

Daffa yang sedang berbaring setengah badan di kasur, melirik Ujang yang sedang bermain game dengan Rendy.

"Iya, gue kuliah di sini, aja."

"Sayang banget, loh, Daf. Padahal kesempatan cuman datang sekali seumur hidup, jangan sampai lo nyesel, deh!" terang Rendy, sangat menyayangkan pilihan Daffa.

"Malah kesempatan sekali seumur hidup itu, yang bikin gue mau tetap di sini nggak ke mana-mana. Gue nggak bisa jauh sama Cinta, lo berdua tahu itu!"

Rendy melemparkan bantal yang ada di sisinya ke arah Daffa. "Gila lo, another level of bucin, ya begini, deh!"

Apa Kabar, Cinta? (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang