☁Tigapuluhsatu

2.9K 364 2
                                    

"Bagaimana mungkin aku melepaskan mu dalam doa, sedangkan melihatmu saja mengingatkan ku tentang surga."











🌼🌼🌼

Selamat membaca📖 💚

••••

Pukul 20 : 19 menit

Arga menatap wajah damai Rara yang sedang tidur, entah sudah berapa lama ia duduk sambil terus memandangi wajah polos istrinya. Saat ini mereka masih di rumah Ayah dan Bunda. Mungkin dua hari lagi mereka akan pindah ke rumah baru yang sudah Arga persiapkan dari jauh-jauh hari untuk ia dan istrinya kelak.

Arga mencium kening Rara dan ikut merebahkan dirinya di samping sang istri, badannya rasanya remuk dan kelelahan akibat beberapa hari ini ia tidak dapat tertidur dengan nyenyak.

"Selamat tidur, zaujati," bisik Arga tersenyum dan ikut menutup matanya. Ia sudah tidak bisa menahan kantuk yang sedari tadi menyerang.

***

Adzan subuh berkumandang saling bersahut-sahutan, tapi itu sama sekali tidak berpengaruh di telinga Rara. Ia masih asik tertidur dengan menjadikan Arga sebagai gulingnya.

"Ra, bangun," ucap Arga dengan suara pelan.

"Hm." Hanya itulah jawaban dari sang istri.

Arga terkekeh pelan ketika melihat wajah menggemaskan istrinya, "bangun sayang, shalat subuh," ujar Arga lagi seraya mengelus kepala Rara.

"Rara masih ngantuk Bunda."

"Hei," Arga menekan pipi Rara.

Merasa ada yang menekan-nekan pipinya, Rara menggeliat pelan seraya membuka matanya. Matanya membulat sempurna ketika wajah Arga berada tepat di depannya. Refleks ia ingin berteriak dengan cepat Arga membekap mulutnya.

"Jangan teriak-teriak," desis Arga meletakan jarinya di depan bibir Rara.

"K-kok gus Arga ada di kamar Rara?" Rara menatap Arga dengan pandangan yang sulit di artikan.

Mendengar itu Arga sontak tertawa pelan, "lupa ternyata," batinnya.

"Lupa hm?" Arga menunjuk cincin di jari Rara dan juga di jarinya.

Rara menepuk keningnya keras. Karena terlalu keras memukul, ia sampai mengaduh kesakitan.

Arga dengan wajah paniknya mengusap kening Rara, "kok di pukul?"

Rara merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, "Rara lupa kalau gus Arga udah jadi suami Rara," ucap Rara menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

Arga menggeleng kan kepalanya, "mau shalat?"

Rara mengangguk semangat, "Ayo, tapi di rumah aja, gus yang jadi imam."

Arga tersenyum dan mengangguk, "ambil air wudhu dulu gih."

Rara mengangguk dan berjalan ke arah kamar mandi. Arga menatap Rara seraya tersenyum hangat, jangan katakan bahwa Rara yang beruntung memilikinya, justru dialah yang merasa paling beruntung memiliki Rara.

"Rara udah habis wudhu." Rara keluar dari kamar mandi masih dengan menggenakan jilbab, mungkin belum terbiasa membukanya di hadapan Arga.

Arga mengangguk lalu bangkit dari kasur dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, ia tersenyum ketika melihat Rara sudah duduk anteng di atas sajadah.

Rara menoleh, matanya tidak berkedip sedikit pun ketika melihat visual Arga yang memakai sarung dan baju kokoh ditambah lagi dengan rambutnya yang basah karena air wudhu, arggg....

"Shalatnya udah boleh dimulai, zaujati?" Tanya Arga terkekeh pelan.

Di panggil seperti itu seketika membuat Rara salah tingkah, iya menundukkan kepalanya. "I-iya, boleh gus," ucapnya gugup.

Selesai shalat, Arga membalikkan badannya menghadap Rara. Ia menyodorkan tangannya di hadapan Rara.

Rara yang mengerti maksud Arga, dengan perasaan campur aduk ia mengambil tangan itu dan mencium nya. Untuk kedua kalinya ia mencium tangan itu.

Arga tersenyum dan mencium kening Rara, "mau ngaji?"

"Rara belum lancar gus," jawab Rara menunduk malu.

Melihat itu, Arga mengulum senyumnya, ia mengangkat dagu Rara dan menatap mata indah istrinya. "Saya ajarin."

"I-iya." Rara berdiri dan mengambil Al-Qur'an.

Selama proses mengaji, Rara masih banyak salahnya. Tetapi dengan kesabaran full, Arga mengajari istri nya. Tidak ada raut tegas di wajahnya seperti biasa ia mengajari Rara dulu, yang ada hanya wajah tenang disertai dengan senyuman.

Selesai mengaji, Rara melipat mukenanya dan menaruhnya kembali di lemari. Sedangkan Arga masih duduk di sofa kamar dengan Kitab di tangannya. Rara sama sekali tidak tau itu Kitab apa, ia sama sekali tidak pernah melihatnya.

Rara mendekati Arga. "Gus, Rara udah boleh sekolah hari ini?"

Arga menutup Kitabnya dan menatap Rara, ia menarik pelan tangan Rara agar duduk di sampingnya, "dua hari lagi baru boleh sekolah."

"Nanti alpanya banyak dong."

"Sudah saya minta izin kan, tenang saja tidak akan alpa," jawab Arga.

Rara mengangguk paham, ia menatap Arga, "Rara boleh nanya nggak?"

Arga menganggukkan kepalanya dan menatap lekat wajah istrinya.

"Kok gus Arga mau dijodohin sama Rara, gus kan nggak cinta sama Rara."

Arga mengangkat alisnya, "siapa bilang saya nggak cinta?"

"Jadi gus Arga cinta sama Rara?"

"Tidak ada yang namanya cinta sebelum menikah, jika menikah dan jatuh cinta itulah sebenar-benarnya cinta dan itu yang saya rasakan saat ini," kata Arga menepuk pucuk kepala istrinya, "mengerti kan zaujati?" Rara mengangguk.

"Mau peluk gus Arga boleh nggak?" Tanya Rara malu-malu.

Arga tersenyum dan menarik Rara ke dalam pelukannya. "Saya mencintaimu selamanya dan seterusnya," gumam Arga.

Rara tersenyum, "Rara juga cinta kak Devan selamanya dan seterusnya," balas Rara mendongakkan kepalanya menatap Arga. Sedikit demi sedikit, ia harus membiasakan mengucapkan nama Arga yang lain.

Mungkin cintaku padamu tak seindah surat cinta untuk starla, namun cintaku padamu lillahhi ta'ala.”-Pepyfebrianti.

-

see u💗

(YANG PUASA HARI INI SEMANGAT 👏)
_

FOLLOW : @pepyfebrianti_

KEKAL ABADI (TERSEDIA DI SHOPEE FIRAZ MEDIA) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang