Terbungkam

34 4 0
                                    

(Note: Ada beberapa bahasa, dialek daerahnya akan muncul walaupun agak sedikit kasar. Bila ada typo saya sungkem, mohon maaf).

Happy Reading~

Hah.......

Hah.......

Hah.......

Deru napasku terengah - engah. Keringat mengucur deras walaupun udara dingin merasuk paru-paru. Aku berlari kalang kabut menuju ke UKS sembari menggendong Martha dipunggung, berharap masih ada penjaga UKS agar Martha bisa mendapatkan pertolongan. Berlari dan terus berlari, membawa beban nyata memang berat tapi tidak seberat membawa beban batin yang menyiksa hawa. Martha tidak bergerak, deru nafasnya pelan dan jantungnya berdetak lemah. Kurasakan semuanya di setiap langkah.
Angin musim gugur membuat tubuhku bergemetar. Begitu dingin dan merasuk tubuh ini. Namun suhu di dalam gedung masih ada rasa hangat. Ruang UKS berada di lantai 2, mengharuskanku untuk naik tangga. Aku pantang menyerah, kuterus menaiki tangga walau langkahku memelan. Disetiap langkahku menaiki tangga, kurasakan keram di pahaku. Serasa paha ini akan hancur ataupun putus. Namun aku tetap pantang menyerah, kulakukan semuanya demi mentariku walaupun kaki ini akan hancur.

.....

Akhirnya sampai di depan ruang UKS. Aku mengetuk pintu dengan keras.

Tok...Tok...Tok
''Lin!!. Buka!! Tolong Lin ada pasien!!''. Kemudian ada jawaban dari ruang UKS yang membuatku geram.
''Maaf, kami tidak menerima pasien seperti dirimu''. Perempatan muncul di dahiku, aku sudah lelah hari ini. Lelah dengan diri ini, lelah dengan manusia mengesalkan ini dan lelah membawa mentari yang kubawa dipundak.

Bruakk!!
''Setidaknya buka pintunya g*blok!!''. Geram. Karena kecapekan, aku langsung menendang pintu UKS. Terlihat seseorang yang sedang tiduran di ranjang UKS terperanjat kaget saat kudobrak pintunya.
''Eh, ngageti wong turu ae kon kuwi. Nyapo?. Ono opo to?''. Dia langsung bangun kebingungan. Aku langsung masuk ke UKS tanpa melepas sepatu. Biasanya di UKS itu harus lepas sepatu agar lantainya bersih. Bola mata Lin membulat sempurna, melihat diriku menggendong Martha yang pingsan dan dahi yang mengalirkan darah walaupun darahnya berhenti mengalir sampai ke pipi.
''Lho, ya. Ndasmu i nyapo getihen?. Kon kenek opo?. Bar gelud ye?. Sisan sopo iku seng mbok gendong?'' Dia bertanya secara beruntun sembari bangun dari ranjang, membiarkanku untuk menidurkan Martha disana. Aku membaringkan Martha disana. Kemudian berjalan kehadapan Lin dan

Plakk!!

Aku menamparnya. Dia hanya memegang pipinya yang kutampar.
''Pertama, pakailah bahasa baku, jangan pakai bahasa daerahmu. Kedua sembuhkan dia. Ketiga aku tidak apa apa, cuma mau minta plester luka.'' Aku menegurnya dan ia hanya mengangguk pelan.

Valdy Valentino. Panggilannya Lin. Dia berumur 25 tahun. Menjadi penjaga UKS setahun yang lalu. Berasal dari desa, terutama daerah Jawa. Aku mengerti apa yang ia ucapkan karena ayahku dulu orang jawa dan terkadang memakai bahasa daerah. Kata katanya sangat kasar saat marah ataupun terkejut. Minim bahasa baku. Alasan aku tidak memanggilnya kak Lin atau yang lain karena permintaan dia sendiri. Karena aku sering terluka akibat kelakuan para manusia biadab itu, jadi aku selalu datang ke UKS.

Aku mencuci muka dan memakai plester, kemudian memakai masker dan melihat Martha yang lengan dan wajahnya sedang diobati.
''Bagaimana Lin?'' Tanyaku cemas. Lin selesai mengobati Martha dan berbalik, menghadapku.
''Kondisinya bisa terbilang parah. Dia pingsan karena kehabisan tenaga dan selain terdapat luka memar, ada luka sobekan di lengan dan tubuhnya. Sudah kukasih salep. Tenang saja. Sekarang dia baik - baik saja.'' Aku langsung terduduk lemas sembari memijat keningku. 'Martha. Kenapa kau bisa seperti ini'. Lin hanya duduk di kursi kerjanya sembari berputar di kursinya.
''Oh iyo. Tumben kon ora babak bundas. Biasane we mrene akeh catu. Dino iki we gelut ye karo si Sera, ye?'' ( babak bundas: babak belur. Catu: luka ). Aku langsung menatap datar dirinya. Malas menanggapi dokter yang kelakuannya seperti anak usia 9 tahun. Gak ada malu dan akhlaknya minus. Aku teringat sesuatu. Aku harus menelepon orang tuanya. Kurogoh saku rokku dan ternyata ponselku ada di tas. Sedangkan tasku berada di belakang gudang olahraga. Aku langsung pergi tanpa permisi, berlari ke belakang gudang olahraga.
Sesampainya disana. Aku tidak melihat Sera dkk. Hanya ada tasku dan cutter yang kubuang tadi. Aku mengambil cutter tadi, memasukan kedalam tas, mengambil ponsel dan menngendong tasku sembari berjalan kembali ke UKS. Aku langsung menelpon ayahnya Martha. Mengabarkan bahwa Martha pingsan dan sekarang dia di UKS. Ayah Martha langsung berangkat kemari dan menutup panggilan. Aku yang secara tak sadar, berjalan langsung sampai di depan UKS.

Alicia Stories : In Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang