Ardelle mencuci wajahnya berkali-kali. Lalu menatap wajahnya pada pantulan kaca di depannya. Bulir-bulir air yang menyatu dengan darahnya mengalir dari pelipis menuju dagu. Perbannya juga terlihat basah ketika mata birunya terjatuh di area tangannya.
"Sampai kapan kau akan berdiri di sana dan kehabisan darah?"
Ardelle menatap kaca di depannya. Dari pantulan itu, ia bisa melihat Marshall menyandarkan punggungnya di depan bilik toilet perempuan.
"Anda salah toilet, sir," ucap Ardelle singkat. Tangannya mengambil banyak tisu dan menekan pelipisnya.
"Dan sekarang kau memanggilku 'sir'?"
Marshall menoleh ketika ada beberapa perempuan yang berdiri dengan bingung sembari melihat mereka berdua. "Toilet sedang diperbaiki," ucapnya datar serta mengusir.
Ardelle hanya menghela nafas lalu beranjak pergi. Namun ia langsung menatap lengannya yang dicegah Marshall. Masing-masing mata biru itu lalu saling terkunci ketika Marshall menarik Ardelle dan mengurung badannya. Kedua tangan kekarnya berada di washtafel. Ardelle mengerjap ketika matanya terasa panas. Bahkan tanpa persetujuan, matanya menatap bola mata Marshall tanpa berkedip.
"Tell me, Ardelle."
Ardelle memejamkan matanya ketika Marshall memanggil namanya. Nada rendahnya membuat Ardelle tidak bisa berkutik. "Let me go," bisiknya.
"Look at me," bisik Marshall. Tangannya mengambil dagu Ardelle dan menaikkannya sedikit. "I said, look at me," ucapnya penuh dengan penekanan ketika Ardelle tidak menurutinya.
Ardelle membuka matanya. Ia membiarkan Marshall menelisiknya dalam diam. Mereka sama sekali tidak terpengaruh pada musik di luar sana. Tekanan pada dagunya menghilang, tergantikan oleh tangkupan di wajahnya. Ibu jari pria itu seperti menghapus sesuatu di pipinya. Noda darah.
"Do you want to cry?"
Yes.
Ketika hatinya yang langsung menjawab dengan tegas, membuat Ardelle segera mengkatupkan bibirnya erat. Nafasnya mulai menderu. Bagaimana Marshall mengetahuinya ketika ia hanya menatap matanya dengan datar?
Ini tidak baik.
Dengan perlahan, tangan Ardelle turun dari pelipisnya. Ia meremas tisu yang sudah basah itu dengan kuat hingga tetesan darah terlihat membasahi lantai. Berdekatan dengan Marshal sangat tidak baik. Dengan matanya yang masih menatap Marshall, Ardelle mendorong dada itu dengan pelan. Ia langsung mengambil tasnya dan pergi meninggalkan club. Ardelle mengusap kasar aliran darah di pipinya lalu mengerang kesal ketika darah itu tidak juga berhenti.
Langkahnya terhenti ketika menyadari sesuatu. Parfum yang sangat ia kenal tercium olehnya. "Jangan mengikutiku."
"Kau bisa mati kehabisan darah," jawabnya.
Ardelle membalikkan badannya dan melempar tas kecilnya dengan emosi. "Tidak ada yang peduli jika aku mati!" teriak Ardelle dengan frustasi.
Ardelle terengah-engah bagaikan lari maraton. Sedangkan di depannya terlihat Marshall memegang tas kecilnya. Pria itu menangkapnya ketika Ardelle melempar tasnya ke arahnya. Setelah deru nafasnya membaik, Ardelle mengerjapkan matanya beberapa kali. Kenapa ia meluapkan emosinya kepada pria yang sama sekali ia tidak tahu?
Kuku telunjuknya segera mengoyak kulit di sekitar ibu jarinya. Seketika perasaan menyesal hingga di hatinya. Seharusnya ia tidak seperti ini.
"Done?"
Marshall mendekat dan menyampirkan tas kecil itu di pundak Ardelle. Tangan kirinya menarik pinggang Ardelle untuk mendekat serta tangan kanannya ia gunakan untuk mengecek luka di pelipisnya. Matanya menatap kepala Ardelle yang tetap menunduk walaupun tangannya sudah menjauh dari kepala perempuan itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/303393368-288-k550008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romance#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...