"Two Americano, princess."
Ardelle menatap malas pria di depannya ini. Ia menghela nafas dan memasukkan pesanan pria itu pada layar di depannya.
"Kau harus semangat, princess. Tenang saja, aku dan Marshall akan menemanimu hingga sore di sini," ucap Lucky.
"Marshall?"
Lucky menoleh ke belakang. Ardelle mengikuti arah pandangan Lucky dan menemukan Marshall dengan ponselnya duduk di dekat jendela. Ardelle hanya mengendikkan bahunya lalu kembali fokus dengan Lucas sebagai pelanggannya.
"Kami akan bertemu seseorang di sini."
Ardelle mengangguk. "Totalnya-"
"Kenapa minumanku lama sekali?!"
Ardelle menoleh ke samping dan menatap pelanggan dengan raut wajahnya merenggut kesal.
"Apa anda yang bernama nona Kyla? Kami sudah memanggil anda lebih dari 5 kali. Silahkan ambil minuman anda di sebelah sana," ucap Ardelle tenang.
"Kau harusnya mengantarnya ke mejaku!"
"Kami menerapkan self-service di sini nona Kyla. Anda bisa mengambil minuman anda di sana," jawab Ardelle. "Maaf nona, saya harus melayani antrian pelanggan yang lain-"
"KAU MENGUSIRKU?!"
"Bu-bukan maksud saya seperti itu." Ardelle menoleh ketika temannya memberi sebuah nampan berisi kopi. "Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Ini kopi anda, nona."
"Aku mau yang baru! Aku tahu itu sudah dingin," ucapnya ketus.
Ardelle membasahi bibirnya. "Saya yakin ini masih sangat panas, nona. Mohon-"
"Kau tidak mendengarku?! Aku mau yang baru!"
Para pelanggan lain mulai berbisik-bisik melihat keributan di meja kasir. Sedangkan Ardelle sudah berada pada emosinya yang paling tinggi. Ia menunduk dan menggigit bibirnya. "Fuck!," bisiknya sembari mengepalkan tangannya.
Ardelle menoleh ketika bahunya dipegang erat oleh Nathan. "Maaf Miss, kami akan membuatnya kembali. Maaf sudah mengantri lama," ucap Nathan sembari menggeser Ardelle dengan pelan dari kasir dan menggantikannya.
"Dasar kau jalang, berani sekali mengumpat padaku!"
Nyatanya kopi yang masih panas itu sekarang mengenai kedua tangan Ardelle yang sigap menutupi wajahnya. Dalam beberapa detik kedua tangan Ardelle segera ditarik ke dapur. Melihat laki-laki dengan setelan jas hitam, Ardelle sudah menduga bahwa ia bukan karyawan disini. Pria itu menghidupkan keran air dan menaruh kedua tangannya pada aliran air. Ardelle tersenyum tipis ketika ia mengenal harum parfum ini. Bahkan ia tidak sempat merasakan sakit di tangannya akibat pria ini.
"Bagaimana tangannya?"
Lucky muncul dari arah pintu dapur. Seketika Ardelle mendongakkan wajahnya dan menatap wajah orang yang memegang tangannya. Sayangnya, juga membuat jantungnya berdegup kencang.
"Aku bertanya padamu, Marshall."
Marshall.
Senyuman tipisnya berubah menjadi kaku ketika Marshall menatapnya dengan datar. Ardelle akhirnya hanya terdiam diantara mereka berdua dan menyerahkan kedua tangannya dengan pasrah pada Marshall.
"Apa itu sakit, prin-"
"Bagaimana wanita tadi?" ucap Marshall. Bau rokok bercampur dengan mint membuat Ardelle menatap mata Marshall. Lelaki itu meliriknya, namun dalam beberapa detik kemudian perhatiannya teralih pada Lucky.

KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romance#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...