22 - Wretched

224 16 1
                                    

Ardelle sama sekali tidak mengangkat bokongnya dari kursi mobil. Padahal pesawat yang terdiam manis di samping mobil seharusnya sudah terbang sejak satu jam yang lalu. Baik Shane yang berada di belakang kemudi dan Marshall yang menyandar tubuhnya di belakang mobilnya, mereka sama sekali tidak membuka suara.

Mereka tahu bahwa Ardelle butuh waktu.

Gelisah yang tidak padam membuat Ardelle meremas tangannya dan melirik ke arah lapangan luas di luar sana. "Buku...," jedanya.

"Seharusnya akan sampai sesuai kedatangan nona."

Kepala Ardelle mengangguk ketika mendengar jawaban Shane. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah sampai di Sydney. Namun, tentunya ia harus menyelesaikan semua ini sendiri. Dengan begitu semua kenangan tentang ayahnya tidak akan berputar lagi. Tetapi, jika berputar dengan sendirinya, ia yakin bibirnya tidak akan tersenyum. Dan pada akhirnya, semua kenangan yang menyenangkan akan sirna.

Kenapa?

Karena kenangan yang sakit akan lebih mendominasi daripada kenangan yang menyenangkan.

Ia bahkan tersenyum sinis saat menyadari fakta itu.

Helaan nafas keluar dari mulutnya serta tangannya membuka pintu mobil. Ardelle menghampiri Marshall. Langkahnya berhenti ketika ia melihat Marshall menutup mata. Angin itu mencuri, membelai wajahnya dan menghancurkan tatanan rambutnya. Bahkan matahari membuat Marshall semakin bersinar. Tidak adil.

Pria itu juga terlihat tampan dari segi manapun ketika Ardelle memiringkan wajahnya untuk menelisik bagian wajah Marshall.

"Apa?" tanya Marshall lalu membuka matanya.

Ardelle kembali menegakkan kepalanya. "Aku harap kita tidak bertemu lagi," ujar Ardelle.

Marshall melirik tajam Ardelle yang berada di sampingnya. Ia lalu mendengus sinis. "Tidak ada kata 'kita' di sini."

Ardelle hanya mengangguk untuk membenarkan ucapan Marshall. Dinginnya pria itu juga membuat Ardelle melupakan kejadian di atas meja kemarin. Ia lalu berbalik, berjalan menuju benda besar yang akan membawanya pergi. Mulai saat ini ia akan meninggalkan apa pun yang berkaitan dengan Marshall. Ia akan menghapus semua pertanyaan di kepalanya tentang pria itu. Menahan diri adalah aktivitas ke depannya untuk tidak mencari tahu tentang pria bermata biru yang berada di balik punggungnya.

Ia tidak akan lengah.

Ardelle kembali meremas tangannya. Matanya melihat Marshall masuk ke dalam mobilnya ketika ia sudah duduk di kursi pesawat. Rasa gelisahnya semakin besar.

Bisakah?

Gibson melirik tuannya dari spion saat pria itu masuk ke dalam mobil. "Anda sudah memaafkan Ms. Cavanaugh?" tanyanya langsung.

Telunjuk itu terlihat mengelus bibirnya dengan pelan. Sikunya ia sandarkan pada kaca jendela. Ujung matanya melihat jet di samping lalu tersenyum tipis.

"Siapa bilang aku memaafkannya? Aku hanya tidak bisa mengabaikannya jika ia berada di dekatku."

***

Ardelle menaiki tangga Mansion Cavanaugh dengan pelan. Di pertengahan, ia membuka high heelsnya dan berjalan dengan telanjang kaki. Pelayan mengatakan jika ibunya berada di lantai 2, tepat di ruang kerja ayahnya. Ardelle menunduk, menaruh sepatunya di samping pintu sebelum mengetuk. Tangannya naik untuk mengelus leher akibat keringat. Ia tidak tahu apakah ini adalah keringat biasa atau karena keringat dingin. Inhale dan exhale. Dua kegiatan yang ia lakukan sejak di pesawat hingga sekarang.

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang