30 - Five Stage of Grief : Depression

186 16 1
                                    

Sudah dua bulan berlalu namun Ardelle masih terdiam di kamarnya. Ia sama sekali tidak melakukan apapun. Kakinya hanya berjalan jika ia butuh karena gips sudah dilepas bulan lalu. Namun, sekarang Ardelle tidak peduli dengan kakinya.

Louis mengatakan bahwa ia sering melihatnya melamun. Ia juga sering menangis di malam hari saat tertidur. Ardelle menghela nafas dan mengusap wajahnya. Walaupun ia sudah beristirahat lama, kenyataannya ia masih merasa sangat lelah. Ia menoleh saat Fred terlihat masuk begitu saja tanpa mengetuk.

"Grandpa sudah mengetuk tapi sepertinya kau tidak mendengar."

Pernyataan kakek membuat Ardelle mengangguk pelan. Apa ia melamun lagi?

"Matthew ternyata sudah membuat surat wasiat. Ia memberikan hotelnya padamu, lalu semua mobil miliknya, dan ia ingin kau menjadi pemimpin perusahaan-"

"Bagaimana dengan Mom dan Joey-" sahutnya cepat lalu menatap Fred dengan bingung. "Apa?"

"Pemimpin Cavanaugh," ulangnya. "Tetapi jika kau tak mau—"

"Aku mau," jawab Ardelle cepat.

Fred terdiam sejenak lalu mengangguk. "Kapanpun kau siap, Ardelle."

"Aku akan ke kantor besok."

Setelah itu kehidupannya berubah menjadi monoton setiap harinya hingga bulan demi bulan berlalu.

Desember. Bulan natal dan juga hari ulang tahunnya di akhir bulan. Tidak ada yang spesial. Ardelle tidak merasakan senang ketika mendekati hari lahirnya seperti biasa. Suasana kantor terasa asing. Pertama kali ia menginjakkan kaki, semua orang menyapanya sejenak. Tatapan mereka semua terasa tidak mempercayainya.

Ardelle kembali meneguk obat sakit kepala. Rasa lelah yang menghampiri membuat ia menghembuskan helaan nafas yang dalam. Louis beberapa kali bolak-balik masuk ke dalam ruangan sehingga ia membiarkan pintu terbuka. Berkas demi berkas dengan kalimat-kalimat aneh yang membuatnya semakin sakit. Tetapi Louis dan Shane senantiasa untuk menjelaskan semua berkas tersebut ketika ia sama sekali tidak mengerti.

Ardelle bahkan bukan lulusan Bisnis. Kesukaannya pada musik membuatnya memilih jalur lain, walaupun ayahnya sempat memberinya saran untuk masuk ke dalam bisnis. Tapi tentunya Matthew mendukung apapun keputusannya.

Berkas demi berkas bertumpuk hingga menggunung. Ia melirik jam kecil di mejanya. Pukul 12 malam. Ardelle sudah membiarkan Louis dan Shane pulang. Mereka sempat protes ingin menemani, namun Ardelle berkata bahwa ia sudah cukup pusing dan akan beristirahat sebentar.

Namun yang terjadi bukanlah itu. Ia kembali membaca ulang kalimat yang tercantum di kertas tersebut.

Ardelle menoleh ketika seseorang mengetuk pintu. Ia terdiam. Siapa yang akan mengunjunginya tengah malam? Setelah itu pintu terbuka, menampilkan Joey yang menatapnya. Ardelle tidak tahu apa arti tatapan itu.

"Ayo pulang."

Ajakan Joey membuat bokongnya duduk di dalam mobil Joey. Mereka terdiam selama perjalanan hingga sampai di mansion.

"Ardelle, maafkan aku tidak menemanimu akhir-akhir ini. Aku hanya tidak bisa melihatmu," ucap Joey lalu diikuti dengan isakannya. Iris birunya menatap Joey dengan gamang. Ia segera keluar dan membiarkan kakaknya menangis sendirian.

Setelah ucapan tersebut, Ardelle tidak menemui Joey lagi. Setiap harinya ia sibuk dengan berkas-berkas, hingga sabtu dan minggu. Lalu malamnya ia mengalami insomnia sehingga harus mengkonsumsi obat tidur. Kantung matanya sembunyi di balik make-up yang ia pakai. Tubuhnya kurus karena terlalu sering lupa makan.

Ardelle sedikit terselamatkan hanya karena Louis. Pria itu mengantarkan makan siang ke mejanya. Dia juga yang membuat dirinya meneguk vitamin sebelum ia membuka berkas.

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang