"Elle, jika kau sudah setinggi ayah kau mau jadi apa?"
"Awan."
Ardelle membuka matanya perlahan. Ia tertidur di ruang staff selama beberapa menit. Sembari menghapus jejak air di wajahnya, ia mulai beranjak.
"Apa kau baik-baik saja?"
Ardelle menatap Nathan yang menengok dari daun pintu. Lelaki itu dengan jelas meneliti wajahnya.
"Apa wajahku sangat berantakan?" tanya Ardelle.
Nathan menggeleng. Ia membuka pintu itu dengan lebar dan menyandarkan bahunya di pertengahan pintu.
"Apa kau baik-baik saja?" ulang Nathan. "Aku tidak melihat wajahmu sedari tadi, Elle. Dan sekarang wajahmu sangat pucat."
Sontak, Ardelle menyentuh wajahnya. Telapak tangannya terasa hangat. Sedikit bingung entah hangat badannya atau ia memang sedang demam. Nathan maju dan menempelkan punggung tangannya di kening Ardelle.
"Shiftmu hari ini selesai."
Ardelle tersenyum miris mendengar ucapan tanpa bantahan dari si pemilik café. Setelah melepas apron dan mengambil tasnya, ia pergi melewati pintu belakang.
Dengan menggandeng tas kecilnya, Ardelle menyusuri jalan pada jam 7 malam. Ia menghembuskan nafasnya ketika dirinya merasa bersalah karena Nathan akan menggantikan shiftnya hingga cafe tutup.
Ardelle melihat ke dalam tasnya dan mengambil satu batang rokok yang ia simpan paling dalam pada tasnya. Ia melihatnya dengan seksama dan melupakan bahwa ia tidak membawa korek api.
Tiba-tiba seseorang menutup hidungnya dengan sarung tangan. Dengan sigap, Ardelle memegang tangan itu untuk memberontak. Namun terhenti ketika ia mencium parfum yang ia kenal dan sangat membekas diingatannya.
"Kau merokok?"
Ardelle mendongak. Ia melihat Marshall menatapnya dengan tajam.
"Tidak," bisik Ardelle seketika menciut dan sedikit bingung kenapa seorang Marshall El Blackton menghampirinya.
Marshall mengambil rokok itu dengan tangan satunya dan memasukkan rokok itu pada kantong jasnya.
"Kenapa kau tiba-"
Marshal menjauhkan sarung tangan itu dari hidungnya untuk memperlihatkannya. Sedangkan tangan Ardelle masih di pergelangan tangan Marshall.
Matanya mengerjap sejenak lalu kembali menarik tangan Marshall ketika merasa aliran darah melewati hidungnya. Bagaimana Marshall tahu kalau ia mimisan, sedangkan ia sendiri tidak menyadarinya?
Suasana terasa canggung sejenak dan tangan Ardelle masih memegang tangan Marshall. Pria itu sama sekali tidak terlihat keberatan. Marshall masih menatapnya dengan tajam sedangkan Ardelle hanya menatap ke sekitarnya.
"Apa kau sedang mengikutiku?" canda Ardelle.
Hanya sebuah candaan karena Ardelle tahu kantor Marshall tepat berada di depan cafe. Tapi sama sekali Ardelle tidak melihat senyuman di bibir pria itu.
Pria ini terlalu dingin.
Ardelle berdeham sejenak. Ia segera mengambil sapu tangan itu dan memegangnya sendiri. Setelah itu, Marshall pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Ardelle mengendikkan bahunya lalu memutar tubuhnya dan berjalan sembari membersihkan darah dari hidungnya. Kakinya melangkah masuk ke dalam sebuah toko.
Setelah beberapa menit, Ardelle keluar dengan sebungkus rokok dan korek api. Ia mengambil satu batang lalu menyusupkannya ke dalam tas.
"Kau-nakal ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romans#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...