Ardelle mengerutkan dahi ketika ia sudah mulai tidak fokus mendengar rapat saat seseorang sedang menerangkan grafik-grafik di depannya. Udara tampak dingin berkat air conditioner, becampur dengan suasana tegang para direktur yang sedang mengikuti rapat. Mereka melirik singkat untuk melihat raut wajah pemimpinnya. Ardelle terlihat serius dari wajahnya, namun faktanya ia sedang meremas perutnya. Jemarinya menyentuh ponsel dan membuka kalender. Ia mengumpat dalam hati ketika ia lupa untuk menandai hari setiap bulannya. Tinggal di New York dengan bebas membuat ia dengan mudah melupakan kebiasaan yang sering ia lakukan.
"Kesimpulannya?" tanya Ardelle tiba-tiba. Membuat para direktur menatapnya dengan was-was dengan pemimpin yang telah absen selama bertahun-tahun.
Menjadi pemimpin muda yang menaungi karyawan membuat dulu dipandang dengan remeh. Namun, Ardelle membuktikan dengan kerja keras hingga ia sering tidur di kantor. Para direktur segera mengakui dengan kepandaiannya dalam memimpin. Louis bahkan sampai merenovasi ruangannya hingga ia memiliki kamar di sana.
"Apa ada yang salah, Miss?"
"Ya, kita sudahi rapat ini sekarang. Kirim semua laporan kalian pada e-mail saya," ucap Ardelle dengan singkat dan padat. Satu per satu orang keluar dari ruangan, hanya tersisa Ardelle dan Louis.
"Jangan mencariku," ucap Ardelle pada Louis penuh peringatan. Tetapi lelaki itu menatapnya dengan bingung lalu segera berubah menjadi frustasi.
"Ck, kau selalu seperti ini!"
"Ini keinginan menstruasiku," jawab Ardelle datar. Louis menghela nafas dengan keras ketika Ardelle pergi dari ruangan.
Terkadang, Ardelle selalu membuat hari pertama dan kedua sebagai hari liburnya. Karena jika tidak begitu, dirinya akan bekerja dengan keras bagai mesin hingga rusak. Walaupun, itu juga bukan sebagai pengecualian karena ia memang sakit. Biasanya ia akan mengurung di kamar. Namun kali ini, ia akan mencari hotel lain. Sedikit jauh dari Sydney dengan mengendarai mobilnya sendiri.
"Berikan kamar paling mahal yang ada saat ini."
Setelah beberapa menit dan mendapatkan kunci, Ardelle memencet tombol atas. Kepalanya terus menunduk, tidak peduli dengan orang sekitarnya. Setelah pintu lift terbuka, ia orang pertama yang keluar dari kotak besi itu. Ardelle terpekik ketika seseorang merebut kunci kamarnya. Lalu dengan tiba-tiba badannya terangkat. Tangan Ardelle sudah berada di leher pria itu, namun harum familiar ini membuat tangannya terdiam ketika ia ingin mencekik pria yang ia kira akan membahayakannya.
"Kau ingin mencekikku?" tanya pria itu dalam.
"Marshall?" Ardelle mendongakkan kepalanya.
"Sir."
Marshall melangkahkan kakinya menuju Gibson yang sudah membuka pintu kamar. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari ranjang. Setelah dapat ia lalu melangkahkan kakinya ke arah kasur dan menaruh Ardelle dengan pelan. Ia terdiam menatap Ardelle, ketika perempuan itu sedang menatapnya dengan bingung. Tangannya terangkat untuk menghapus keringat dingin di dahi Ardelle.
"Dari kapan kau mengetahui aku di sini?" tanya Ardelle. Alisnya naik menandakan bahwa ia penasaran.
"Dari kau keluar mobil, lalu memesan kamar, lalu di dalam lift, dan di sini," ucapnya lalu berjongkok di depan Ardelle.
"Kenapa aku tidak sadar?" gumamnya pada diri sendiri. Biasanya ia selalu mencium parfum Marshall yang sudah sangat familiar di hidungnya.
"Kau terlalu sibuk dengan rasa sakitmu sehingga kau tidak sadar dengan sekitar. Ada apa?"
"Hanya tamu bulanan."
Marshall mengangguk, mengerti dengan alasan tersebut. "Istirahat."
Pandangan Ardelle melihat tubuh Marshall bergerak. Tangan pria itu dengan lihai membuka jasnya hitam yang membungkus dada bidang, seakan menyiratkan pada perempuan mana pun untuk menyandar di sana. Ia menyisakan rompi dan kemeja yang akan ia gulung sampai siku. Entah kenapa semua itu terlihat menarik bagi Ardelle. Bagaimana laki-laki itu membuka jamnya, menarik dasinya hingga longgar, lalu membuka dua kancing atasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/303393368-288-k550008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romance#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...