33 - Inside The Body

236 13 2
                                    

"Ini sudah parah dan kau akan terus membiarkannya?!"

Angkasa Antarajaya. Pria itu rela datang jauh ke rumah sakit besar di Sydney demi Ardelle Cavanaugh, pasiennya yang nakal. Sedangkan Ardelle, perempuan yang sedang duduk di depan Angkasa hanya terdiam. Ruangan ini bukan miliknya, melainkan temannya yang berbaik hati untuk membantu menangani Ardelle di sini. Angkasa tidak mengerti. Di satu sisi ia melihat Ardelle ingin mati. Namun di sisi lain, perempuan itu terlihat bertempur dengan dirinya sendiri.

"Kau tidak bisa semena-mena dengan penyakitmu. Kau tahu?"

Kanker darah yang sudah menggerogotinya membuat Ardelle pusing. Ia menggaruk dahinya yang tidak gatal. Masalah demi masalah terus datang dan menekannya. Beberapa waktu lalu saat ia masih di New York, setelah ia menemukan bahwa ia sering mimisan dan juga sakit, Ardelle segera ke rumah sakit. Ia dipertemukan dengan Angkasa sebagai dokternya. Pertemuannya dengan Marshall saat itu bukanlah yang pertama kali.

"Terima kasih sudah tidak membawa penyakitku, saat itu." Saat di mana ia, Shane, dan Marshall di rumah sakit setelah dari Club.

Angkasa mendengus. "Bukan ucapan itu yang aku harapkan."

"Aku akan mengkonsumsi obat dengan baik dan akan melakukan kemoterapi setelah urusanku selesai," ucap Ardelle lagi.

"Kau juga tidak menghabiskan obat sesuai anjuran," desisnya kesal lalu kembali berkutat dengan berkas-berkas yang berkaitan dengan kesehatan Ardelle. "Aku benar-benar akan menyebarkan ini jika kau tidak mengikuti anjuranku," ucap Angkasa.

Ardelle mengerutkan dahi. "Apa dokter dibiarkan untuk mengancam pasiennya?"

"Jika aku bertemu dengan Marshall, aku tidak bisa menahannya lagi. Aku bahkan sudah berjauhan dengan istriku!" Angkasa mengelus dahinya dengan deru nafas emosi.

"Kau terlihat dekat dengan Marshall?" tanya Ardelle.

"Aku pernah menjadi tetangganya jadi aku sudah menganggap dia sebagai adikku. Aku merasa bersalah jika menyembunyikan ini-"

"Dia bahkan bukan pacarku."

Alis Angkasa naik dengan sorot matanya. "Marshall terlihat bukan seseorang yang akan memintamu untuk menjadi pacarnya. Kau tidak suka dengan tipe seperti itu?"

Bulu mata lentiknya mengerjap. "Ini bukan sesi curhat," jawab Ardelle dengan datar.

"Sialan, kau yang dul-"

"Dokter tidak boleh mengumpat kepada pasiennya."

Dengusan keras terdengar. "Yang jelas Marshall-"

"Ada apa?"

Kedua kepala itu serentak menoleh ke arah pintu. Angkasa berdiri dari duduknya dan Ardelle menatapnya dengan kaget. Marshall berdiri di sana dengan raut wajah datar. Namun bukan raut itu yang terlihat di mata Ardelle.

Raut marah dan kecewa terpatri di wajahnya.

"Jelaskan sekarang." Marshall duduk di samping Ardelle yang terdiam bagaikan patung.

"Kanker darahnya sudah parah. Penyebaran cukup cepat dan harus dicegah-"

"Jadwalkan apapun yang harus dilakukan," sahut Marshall dengan cepat.

"Tidak," ujar Ardelle dengan cepat.

"Ardelle!" bentak Marshall.

Mereka berdua saling bertatapan tajam. Marshall mengepalkan tangannya dengan erat.

"Ini penyakitku dan kau tidak bisa memaksaku."

"Kalian berdua, jangan bertengkar di ruang—"

"Aku benar-benar marah sekarang, jika kau tidak bisa membaca raut wajahku." Marshall tidak peduli dengan Angkasa. Keras kepala Ardelle saat ini menjadi lawannya.

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang