11 - Turning Red

266 25 2
                                    

"Nona."

Mata hitamnya menatap tajam ke arah tangannya yang dicekal. Desisan hampir keluar dari bibir Louis ketika pria itu tiba-tiba berdiri di sampingnya dengan cepat.

"Jangan menyentuhnya," desis Marshall.

"Louis Preston," ucap Louis memperkenalkan diri dengan sopan dan melepas tangan Marshall dari lengannya.

"Blackton," jawab Marshall singkat.

Louis menatap Marshall dengan tajam. Ia mengeratkan kepalan tangan ketika mengingat Marshall mencekal tangannya, padahal ia ingin menyentuh Ardelle yang terbaring lemas di atas ranjang. Wajah pucatnya membuat ia sangat khawatir. Padahal ia hanya pergi sebentar saat di pesta.

"Jaga batasanmu. Kau hanya sekretarisnya," ucap Marshall dengan sinis.

Tepat setelah ucapan Marshall yang tajam, ponsel Louis berdering nyaring. Mau tak mau ia melangkahkan kakinya keluar kamar dan menerima panggilan itu walau matanya sempat memandang Marshall dengan sinis.

"Sepertinya ada yang aneh."

"Apa?" tanya Marshall. Matanya melirik Lucky di sampingnya yang sedari tadi terdiam.

Lucky mengelus pelipisnya. "Saat aku menyapa princess, aku melihat gerak-gerik tangannya."

Marshall menoleh sepenuhnya ke samping. Ia menatap Lucky dengan penasaran. "Seperti apa?"

"Seperti 'jangan panggil aku princess dan kita sama sekali tidak kenal'. Dari gerakan tangan, raut wajah, dan tatapannya yang aneh membuatku berasumsi seperti itu. Jadi aku pura-pura tidak kenal dengannya," jelas Lucky.

"Aku kira dia hanya pelayan cafe biasa. Ternyata salah satu keluarga terkenal. Lalu tiba-tiba muncul sebagai pemilik Cavanaugh Group. Kira-kira kejutan apalagi, princess?"

***

Ardelle menatap kosong dengan lurus. Ia menghiraukan Marshall. Pria itu terdiam di sofa yang berada di sudut kamar hotelnya. Suara pintu terbuka membuat iris biru dengan bulu mata yang lentik menoleh pelan.

"Nona, apa ada yang sakit?" tanya Louis, segera mendekat ke arah Ardelle dan mengelus rambutnya.

"Louis."

"Yes, my lady."

Marshall mengerutkan dahinya dan menatap tajam dua sejoli yang tampak seperti pasangan kekasih, bukan seorang bos dan bawahannya.

"Bawa Martin Cavanaugh dalam satu jam kehadapanku," ucap Ardelle pelan namun menusuk. "Bawa dia dengan tanganmu sendiri."

"Tapi nona, tidak ada yang menjaga-"

"Dia berada dalam pengawasanku, jika itu yang kau khawatirkan, Mr. Preston," potong Marshall dengan suara rendahnya. Helaan nafas pelan keluar dari bibirnya. Ia merasa terlalu banyak mengeluarkan kosa katanya akhir-akhir ini.

Louis membalikkan badannya dan menatap Marshall cukup lama. Namun, setelah itu ia pergi melaksanakan titah nonanya. Keheningan kembali menyeruak di antara keduanya. Tidak ada satu pun yang ingin mematahkan kesunyian itu, hingga Ardelle menghela nafasnya.

"Kenapa kau menyelamatku?" tanya Ardelle.

"No thank you?"

Ardelle merasa deja vu dengan pertanyaan Marshall. Matanya lalu menatap Marshall di sofa sana. Sedikit tersentak ketika Marshall juga menatapnya, dengan sangat dalam. Pria itu tampak penasaran.

"Untuk menyelamatkanku? Tidak," jawab Ardelle dengan telak.

Marshall berjalan mendekati Ardelle. Jarum infus masih tertusuk di tangannya sedangkan oksigen sudah disingkirkan sehingga Marshall bisa melihat dengan jelas wajah yang sudah menghilang selama hampir satu bulan ini. Kulitnya yang pucat hampir menyamai bibirnya, rambut pirangnya, iris mata yang tajam. Perempuan yang sepertinya mati-matian diukir keluarganya agar menjadi yang terbaik. Marshall tidak tahu, apakah keluarganya atau ia sendiri yang mengukir dirinya.

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang