Ini kedua kalinya Ardelle melihat orang-orang memakai baju hitam. Camille memeluk dengan kepala yang menyandar di bahunya. Jemarinya bergerak mengelus lengan Ardelle. Semburan api kian melahap peti kayu tersebut. Mula berwarna putih bersih yang indah, hingga berubah menjadi hitam pekat yang panas.
Seperti biasa, Ardelle tidak bisa berdiri di depan. Ia hanya melihat sedikit dari belakang, walaupun lebih banyak melihat bahu-bahu orang di depannya. Tangannya naik untuk menekan pelipis. Ia segera menepuk Camille pelan lalu memutar tubuhnya. High heels dari boots mengetuk lantai seirama dengan jalannya yang menuju toilet.
Dagunya terangkat ketika merasakan lelehan dari hidungnya. Ardelle menghela nafas kasar dan segera membasuhnya hingga bersih. Tekanan yang akhir-akhir ini menekannya pasti membuat ia terlalu lelah. Ardelle meremas pinggiran washtafel sembari menatap wajahnya yang pucat dari kaca di depannya.
"Ardelle?"
Ardelle tersenyum tipis saat matanya menemukan Camille di ambang pintu. "Aku tidak apa-apa," ucapnya langsung. Camille terlihat sangat khawatir dari raut wajahnya.
"Kata Marshall kepalamu—"
"Camille, apa kau mau pergi ke pantai?"
Camille mengerjap sembari mendekat. "Pantai? Tiba-tiba?"
Ardelle mengangguk. "Tiba-tiba aku ingin melihat ombak."
***
Ardelle menatap Marshall yang berdiri di sampingnya. Suara ombak bahkan tidak bisa membuat Ardelle mengalihkan pandangannya. Dengan sinar berwarna jingga, Marshall terlihat sangat memukau. Kemeja gelapnya sudah keluar di bagian bawahnya, lengannya ia gulung asal, serta tiga kancingnya terbuka sehingga mata birunya bisa mengintip ke dalam dengan mudah. Jas pria itu berada di bahunya, menyelimuti dengan hangat.
Marshall melirik dari sudut matanya. "Ada apa?" tanyanya ketika Ardelle masih terus memandangnya.
"Langitnya bagus," ucap Ardelle.
"Langit atau aku?"
Ardelle memberikan senyum tipis sehingga Marshall dengan gemas mengecup puncak kepalanya lalu ikut duduk di sampingnya. Tangannya bergerak merangkul Ardelle dan membiarkan kepala itu jatuh di atas bahunya. "Kepalamu masih sakit?"
Ia merasakan gesekan pada bahunya membuat Marshall segera menundukkan kepala untuk menatap wajah Ardelle. "Obatnya tidak berfungsi? Jangan bilang kalau obat itu juga expired?!"
Perempuan itu terkekeh. Terdengar merdu di telinganya sehingga ia menaikkan sudut bibirnya dengan mudah. Marshall segera menaikkan dagu Ardelle dan mengecup bibirnya. "Kalau begitu, ayo pulang," bisiknya. Ardelle menggeleng pelan dan memilih merapatkan dirinya ke dalam tubuh Marshall. Setelah itu ia melihat Lucky dan Camille sedang bermain air di depan sana.
"Aku rasa mereka akan menikah."
Ucapan Marshall membuat Ardelle menegakkan tubuhnya. Ia menatap Marshall, tertarik untuk mencari tahu. "Benarkah? Memangnya Lucky bilang seperti itu?"
"Tidak. Aku hanya tahu."
Ardelle mendengus lalu mengerjapkan matanya. "Kau sudah lama ada di sini. Perusahaanmu tidak apa-apa?" tanya Ardelle.
Angin keras menerpa rambut Ardelle sehingga Marshall dengan cepat merapikan rambut panjang itu. "Selagi tidak ada masalah yang serius, aku bisa memonitornya dari sini," ujarnya.
Lagi dan lagi, ia menatap Marshall dengan dalam. Ardelle tidak merasa bosan sedikitpun dengan pahatan yang membentuk wajahnya dengan sempurna.
Sesuatu yang pecah mungkin tidak bisa kembali menyatu. Namun akan digantikan dengan sesuatu yang baru dan akan membuat hatinya kembali membuncah.
![](https://img.wattpad.com/cover/303393368-288-k550008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romance#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...