23 - the word that I hate, "Never."

215 16 3
                                    

Lorong putih menyaksikan bagaimana kegelisahan dua orang yang sudah berdiri sejak satu jam yang lalu. Pintu itu terbuka menampilkan seorang dokter yang segera keluar dari ruangan tersebut. Kepalanya mengangguk dengan helaan nafas disertai senyuman.

Fred menghela nafas lega lalu mengelus kening. dengan pelan. Louis yang melihat segera membantunya untuk duduk. Suara derap langkah keras membuat mereka berdua  langsung menoleh.

"Mo-Mom, bagaimana? Dia harus baik-baik saja," ucap Joey dengan panik dengan mata yang tidak fokus.

Fred segera beranjak untuk memeluk cucunya dengan lembut. "Dia baik, Joey," ucapnya untuk menenangkan. Joey menangis keras di dalam pelukan kakeknya. Meremas bajunya adalah cara untuk mengeluarkan rasa frustasi yang tiba-tiba membeludak. Sedangkan Christian tampak mengobrol dengan Louis di belakang mereka.

"Apa yang terjadi?"

Louis menggeleng pelan mendengar pertanyaan Christian. "Ardelle menemukannya duluan," jawab Louis.

"Kau juga terlihat sangat pucat, Louis. Kau baik?" tanya Christian lagi. Louis hanya tersenyum masam dan mengangguk ketika pria itu menepuk bahunya.

"Kondisinya masih kritis dan masih harus dipantau," jelas Fred. Ia lalu menoleh ke arah Louis. "Bagaimana dengan media?"

Fred sudah tidak heran lagi ketika kabar aneh sudah tersebar luar dengan cepat. Orang-orang yang menyusun berita tersebut sangat pandai berkamuflase berkat baju biasa yang mereka pakai. Louis merogoh ponselnya. "Ramai, bahkan sudah ada konfirmasi kalau Diana sudah meninggal."

"Kalau begitu Christian dan Louis, tolong urus klarifikasi untuk Diana saat ini pada media. Joey, kakek harap kau mau menemani ibumu di sini. Kakek akan kembali ke mansion dan melihat keadaan Ardelle," jelas Fred lagi dan masing-masing mengangguk untuk mengikuti ucapannya.

"Ardelle...dia bersama siapa?" tanya Joey parau sembari menghapus jejak air matanya.

"Shane," jawab Louis. Jawaban yang Shane berikan menjadi ucapan akhir karena mereka harus melakukan kewajiban yang telah ditentukan.

Fred segera mengemudikan mobil yang dibawa Louis, sedangkan pria itu bersama dengan Christian. Selang beberapa menit, ia sampai ketika waktu menunjukkan pukul 2 siang. Para pelayan tampak berkumpul di luar ketika Fred membuka pintu mobilnya.

"Diana baik-baik saja," umumnya sembari tersenyum tipis. "Bagaimana dengan Ardelle?"

"Nona Ardelle membiarkan Mr. Shane pulang setelah kakinya di rawat. Lalu nona mengurung dirinya sendiri di kamar setelah itu. Saya cukup khawatir karena tidak mendengar suara apapun," jelas Andine sebagai kepala pelayan.

"Terima kasih, Andine." Setelah itu Fred berjalan cepat ke arah kamar cucunya. Tangannya membuka pintu itu dengan pelan dan melihat tubuh Ardelle tertidur biasa di atas kasurnya.

"Ardelle," panggilnya. "Diana tidak apa-apa," ucapnya sembari mendekat. Fred duduk di samping tubuh Ardelle dan menepuk bahunya.

"Bisa beritahu kakek apa yang terjadi dengan ibumu? Kau menghilang tiba-tiba lalu mengirim paket untuknya tadi," lanjut Fred.

Ardelle tidak tertidur. Matanya menatap jendela kamar yang terbuka menampakkan sinar cahaya pada siang hari ini. Dengan angin yang membuat tirai putih itu bergerak, ia melihatnya dengan gamang.

"Buku merah," bisik Ardelle setelah itu.

Mendengar jawaban Ardelle membuat Fred beralih menatap buku merah yang terletak di atas meja kecil. Ia membuka dan membaca isi itu dengan cepat. Terkejut adalah kata yang tepat untuk perasaannya. Namun bertindak gegabah karena kemarahannya saat ini adalah tindakan yang menurutnya tidak penting.

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang