Ardelle menatap kertas undangan di tangannya. Ballroom ini terlihat sangat ramai. Baik artis hingga media, membuat Ardelle enggan mendekati kedua mempelai yang sedang merayakan pernikahannya pada hari ini. Dari sudut ruangan ini, Ardelle dapat melihat senyuman manis kakaknya yang sangat bersinar di harinya.
"I Christian, take you Joey, to be my wife. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish 'till death do us apart."
"I Joey, take you Christian, to be my husband. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish 'till death do us apart."
Suara Christian dan Joey mengalun indah saat mengucapkan wedding vow di video yang ditampilkan. Sementara beberapa orang meliriknya aneh ketika Ardelle hanya berada di pojokan dan menyendiri. Ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Joey atas pernikahannya ketika orang-orang sudah mulai menyebar untuk menikmati pesta.
"Kenapa kau di sini?"
Ardelle menoleh dan tersenyum tipis ke arah Joey yang menemukannya. "Selamat atas pernikahanmu," ucap Ardelle dan memeluk kakaknya dengan erat. Jujur saja, sebenarnya ia ingin menangis. Kakakmu satu-satunya bukan miliknya lagi.
"Mama merindukanmu. Kau harus menyapanya," ucap Joey sembari merangkul erat adiknya.
"Aku tidak akan menyapanya," ucap Ardelle dengan cepat. "Aku akan menyapanya ketika aku sudah siap."
"Ini sudah tiga tahun. Kau belum menemui mama sama sekali. Ayo, aku akan menemanimu," ajak Joey dan berusaha menarik Ardelle.
"Joey, kenapa kau ada di sini? Kau harus-"
Ardelle menundukkan kepalanya. Joey merangkulnya lalu tersenyum ke arah Diana. "Mom, lihat Ardelle datang ke acaraku. Aku sudah bilang, aku yang menang."
"Ya, Joey," gumam Diana. Ia mendekati Ardelle dan mengelus rambutnya dengan pelan. "Bagaimana kabarmu?"
"Baik," ucap Ardelle singkat. Ia masih enggan untuk menatap Diana. "Aku pamit ke kamar mandi," ucap Ardelle lalu melangkahkan kakinya secepat mungkin, meninggalkan Joey dan Diana yang menghela nafas. Ia membelokkan badannya menuju luar ballroom lalu berjalan sedikit menjauh dari pintu masuk. Ardelle mengatur nafasnya sebaik mungkin.
"Apa kau Ardelle Cavanaugh?"
Ardelle membalikkan badannya lalu membeku ketika menemukan dua orang paruh baya di depannya. "Ya, itu saya," jawabnya pelan.
"Sudah tiga tahun aku tidak melihatmu. Bagaimana kabarmu?"
"Baik, Mrs. Denzel," jawab Ardelle singkat.
"Aku tidak mengharapkan seperti itu," ujarnya. "Aku selalu dihantui oleh anakku. Tidakkah kau begitu?"
"Sa-saya-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romansa#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...