Ardelle menatap bingung ketika Camille dan Lucky menghadang pintu ketika ia ingin pergi. Tubuhnya sudah merasa lebih baik jadi dia akan kembali ke Sydney hari ini.
"Ada apa dengan kalian?" tanya Ardelle dengan heran.
"Kau tidak boleh pergi," ucap Camille dengan kesal. "Datang dan pergi tiba-tiba. Kau kira aku punya jantung berapa?" rengek Camille.
Pintu terbuka dari luar membuat mereka bertiga menoleh. Sedangkan Marshall yang sedang duduk di sofa tidak mengalihkan tatapannya dari Ardelle. Pria itu melipat kakinya dengan tenang.
"Nona, Rose Cavanaugh datang," ucap Louis.
Ardelle menghela nafas dan memijit pangkal hidungnya. "Suruh saja dia masuk," ucapnya lalu berjalan ke arah kasur dan duduk.
Camille dan Lucky segera menyingkir dan menyimak. Lalu Marshall beranjak, mendudukkan bokongnya di samping Ardelle, seperti kemarin. Ardelle menoleh ingin protes namun dari tatapan Marshall yang tidak peduli membuat ia kembali menelan kata-katanya. Itu membuat ia kembali mendengar bisikan seksi Marshall yang nyatanya adalah halusinasi. Tangannya naik dan segera mengusap telinga yang hampir memerah.
"Kenapa kalian tidak keluar?" tanya Ardelle kepada Lucky dan Camille.
"Marshall di sana, kita di sini," jawab Camille dengan senyum manjanya sembari memegang lengan Lucky di sebelahnya.
Setelah itu mata Ardelle menangkap Rose Cavanaugh berjalan masuk. Raut wajahnya berubah ketika ada beberapa orang selain Ardelle.
"Apa kau sedang mempermalukanku?" tanya Rose sembari mendengus.
"Abaikan saja mereka, Bibi. Silahkan lanjutkan," ujar Ardelle dengan senyum miringnya.
"Kau-"
"Apa bibi tidak ingin mempercepat permintaan maaf ini?" potong Ardelle. Ia merasa jengah.
"Maaf," ucap Rose dengan dagunya yang terangkat.
Dari intonasi suara saja Ardelle tahu bahwa bibinya sama sekali tidak tulus dalam mengucapkannya. Ia lalu mengangguk pelan. "Sebagai hukumannya, aku memblokir semua kartumu."
Rose mengerutkan dahi dan melototkan matanya. "Apa hakmu untuk memblokir semua kartuku?!" bentaknya keras.
Louis maju selangkah ketika Rose maju. Pria itu tampak mengawasi gerak-gerik Rose di depannya dan Ardelle meliriknya sejenak.
"Hakku adalah ketika aku mengatur semua yang terjadi di Cavanaugh?" Ardelle mengangkat bahunya. "Baiklah, bibi boleh pergi."
Rose pergi dengan raut penuh amarah. Ardelle segera menatap Camille dan Lucky yang sedang menatapnya dengan terpana.
"Aku lebih suka kau seperti ini, Elle," ucap Camille.
Camille tentu terkejut dengan perubahan sifat perempuan itu secara tiba-tiba. Memang masih terlihat dingin, namun jika dibandingkan dengan sifatnya dulu, saat ini yang membuatnya salut. Bahkan rasanya Camille ingin melihat langsung ketika Flair diserang oleh Ardelle. Katakan bahwa ia adalah pendendam dan Flair juga bodoh dengan otaknya yang sepertinya tidak mempunyai lekukan atau berlipat sehingga ia tidak bisa berpikir yang baik.
"Princess, aku tunduk padamu." Lucky menundukkan badannya dengan hormat ala pangeran.
Ardelle terdiam. Tidak ada satu pun dari mereka yang bertanya ketika ia pergi dengan tiba-tiba, apalagi Camille sebagai sahabatnya. Dari rautnya tadi, Ardelle tahu Camille khawatir padanya. Namun, model papan atas itu tampak mengerti dengan keputusannya. Ia lalu tersenyum tipis.
"Bagaimana kabarmu, Camille?"
"Aku sibuk dengan beberapa majalah. Lalu Lucky mengajakku untuk melakukan video dengan hotelnya. Tidak ada waktu untuk merindukanmu, Elle," ucapnya dengan dagu ke atas, mencoba menjadi angkuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romantizm#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...