Ardelle terengah-engah. Nafasnya memburu dengan dadanya yang seiring naik dan turun. Dalam 15 menit ia sudah mengacaukan wardrobe sehingga kamarnya menjadi kapal pecah. Pintunya terkunci rapat dan ia sudah memberi pesan kepada kepala pelayan agar tidak ada yang mengganggunya. Ardelle mengusap keringatnya dengan frustasi.
Ia lalu berdiri setelah duduk di atas lantai kayu. Bibirnya mendesah lelah dan segera berpikir ulang di mana ia harus memulai semua ini. Ia lalu berjalan ke arah lemari pakaiannya. Tangannya meraba dinding dengan dahi yang mengerut. Sampai di ujung bawah, Ardelle menemukan sebuah tempelan yang sama persis dengan temboknya saat ini. Kukunya membuka tempelan tersebut secara perlahan. Terlihat sebuah lubang kunci di suduh bawah sana, membuat Ardelle meringis ketika ia harus mencari kuncinya.
"Periksa semua lemari? Kali ini pasti bukan lemari," bisik Ardelle pada keheningan. "Kira-kira apa yang ayah lakukan setelah ini?"
Ardelle menghela nafas dengan keras. Saat ini sudah pukul 11 malam dan ia masih mencari jawaban teka-teki ayahnya. Ardelle menaikkan alisnya singkat. "Kunci?"
Kakinya melangkah cepat ke arah tempat perhiasannya. Matanya meneliti semua perhiasannya dengan baik. Lalu mengambil sebuah kalung dan mengangkatnya. Ayahnya memberikan sebuah kalung saat ia lulus dari Senior High School. Sebuah kalung yang berbentuk kunci kecil.
"No way," ucap Ardelle lalu melangkah ke arah lemarinya lagi. Ia berlutut dan membuka pintu itu dengan kalungnya dengan pelan. Mungkin ia akan menangis kalau kalung ini sampai lecet atau mutiara yang terletak di tengah kunci itu hilang.
Suara kunci terbuka membuat dada Ardelle berdetak kencang. Ia mendorong pintu itu, yang ternyata cukup tinggi sesuai tinggi tubuhnya. Hanya lubang kunci saja yang membuatnya harus berlutut. Lampu-lampu yang terletak di tangga otomatis menyala membuat Ardelle melangkahkan kakinya turun mengikuti tangga itu.
Sebuah lorong dengan tembok berwarna putih itu membuat Ardelle berjalan cepat ketika melihat sesuatu di ujung sana. Pintu besar terlihat tanpa gagang. Ardelle melirik sekitar dan menemukan sebuah layar kecil yang sedang meminta password. Ujung telunjuk menempel untuk mengetik angka-angka yang ia tahu dari ulang tahunnya, Joey, bahkan ibunya. Semua salah. Ardelle mengacak rambutnya kesal lalu terduduk dengan lemas.
Getaran di sakunya membuat Ardelle merogoh ponsel di celananya. Bibirnya menarik sebuah senyuman dan mengetik balasan.
Marshall
stink.Ardelle
shut up
Marshall
I will. with ur mouth.
Lagi-lagi, Marshall melakukan hal aneh. Helaan nafas terasa panjang dengan suara lelahnya. Ardelle segera mengunci ponselnya lalu menatap layar password itu dengan gamang. Ia lalu beranjak dan kembali ke luar. Tangannya kembali menempelkan stiker tersebut agar lubang kunci tidak terlihat dan mengabaikan baju-baju yang berada di lantai. Pelayan akan membersihkannya besok dan sekarang ia akan mandi lalu merebahkan badannya di atas ranjang yang nyaman.
***
Pukul 5 pagi Ardelle terbangun dengan keringat yang membasahi dahinya. Ia menutup matanya sejenak untuk menghalau ingatan tentang mimpi yang mengutuknya. Jemarinya membuka laci kecil, meraih rokok serta korek api.
Kakinya melangkah turun menuju area taman belakang. Bibirnya tersemat satu batang rokok dengan asap yang menari di udara. Ia menyesapnya dengan perlahan lalu menghembuskan asap yang sayang sekali membahayakan paru-parunya. Namun, ia tetap melakukannya. Rumah kaca sudah berada di depan lalu tangannya mendorong untuk membuka pintu itu. Dari dulu ia menyukai rumah kaca ini. Tepat di tengah sana terdapat beberapa bunga Lily of The Valley dengan mawar putih mengelilinginya. Terlihat putih dan indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romansa#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...