"Pulanglah, Elle."
Ardelle menggenggam erat ponsel yang berada di telinganya. Pukul 5 pagi ia duduk di dekat bar sembari mencuri alkohol milik Marshall. Setelah kemarahan Marshall tadi malam, kakinya sedikit merasa takut untuk berjalan pergi. Ardelle bahkan baru tahu Marshall bisa se-marah itu.
"Mama membutuhkanmu."
"Mama tidak membutuhkanku," jawab Ardelle dengan cepat. Merasa terganggu dengan suaranya yang selalu sedih.
"Apa kau tidak ingin mama senang?"
"Apa kau tidak tahu selama 3 tahun ini mama selalu menghubungiku dan membicarakan tentang khayalannya, Joey?" Ardelle memejamkan matanya dengan tangan yang sedang memijat bahunya. Punggungnya masih terasa nyeri sehingga ia mengerang sedikit ketika menyentuhnya. "Apa menurutmu mama sedang mengejekku?" lanjutnya lagi.
"Dia tidak mungkin seperti itu. Dia seperti itu karena ia rindu denganmu," bantah Joey di seberang sana.
"Kau tidak honeymoon?" tanya Ardelle, langsung mengubah topik pembicaraan.
"Aku tidak bisa meninggalkan mama sendiri."
Ardelle mengetuk telunjuknya di meja bar. "Aku tutup," ucap Ardelle lalu menutup sambungannya tanpa mendengar bantahan Joey.
Seketika semua terasa sangat sunyi ketika suaranya padam. Jemarinya memainkan botol wine di depannya. Ingatannya kembali ketika dirinya lepas kendali di depan Marshall. Lagi-lagi ia melakukan itu. Ardelle menghela nafas lelah. Apa karena reaksi tubuhnya yang nyaman di samping Marshall membuat ia lepas kendali?
Ardelle menggeleng dan memberi peringatan pada dirinya sendiri alias pada pikirannya agar tidak lepas kendali di depan orang yang sama sekali tidak mengenal dirinya. Keningnya mengerut lalu tangannya menyisir rambut pirangnya. Tetapi kenapa Marshall tidak pernah bertanya padanya selama ini?
Kepalanya menggeleng lagi. Bisa-bisanya ia terus memutar Marshall pada otaknya. Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh keningnya membuat Ardelle mengangkat tangannya untuk memukul. Kepalan tangannya terhenti di lengan kekar Marshall yang menatapnya dengan datar.
"Maaf, kau membuatku terkejut," ucap Ardelle lalu menarik kaku tangannya dari lengan Marshall. "A-apa itu sakit?"
"Seperti sehelai bulu yang jatuh di atas tanganku," jawabnya datar lalu melangkahkan kakinya menuju dapur. Marshall mengambil sebotol air dingin dari kulkas dan berjalan lagi menuju dirinya. Sedangkan ia hanya mengendikkan bahu mendengar ucapan Marshall yang terasa mengejeknya. Ardelle menaikkan alisnya bingung ketika Marshall menukar botol wine di depannya dengan sebotol air.
"Terima kasih," jeda Ardelle ketika Marshall duduk di sampingnya. "Sudah merawatku," lanjutnya.
Tangan Marshall mengambil botol wine itu lalu meneguknya dengan pelan. Ia hanya terdiam.
"Setelah ini aku tidak akan menyusahkanmu lagi."
Ucapan itu membuat Marshall menoleh ke arah Ardelle yang sedang memutar ponselnya di atas meja. Mata tajamnya menatap Ardelle dengan datar, namun Ardelle merasa pria itu tahu maksudnya. Ardelle melipat bibirnya.
"Then, give me a kiss," ucap Marshall.
"Apa?" tanya Ardelle kaget.
"Give me a goodbye kiss or i won't let you go."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Lãng mạn#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...