Menemukan Ardelle seperti ini membuat Shane tidak bisa berkata-kata. Nonanya terlihat sangat berantakan ketika ia melihatnya di balik kemudi. Shane segera membantu perempuan itu untuk pindah ke kursi sebelah lalu terdiam di kursi kemudi dan hanya memandang Ardelle. Mata birunya terlihat redup.
"Nona sudah memberitahunya?" Buku merah itu ia tutup. Sekarang ia sudah tahu masalah yang sebenarnya. Ia juga tahu Ardelle mencurigai Louis sebelum ini. Maka dari itu, Ardelle membuat rencana agar Louis mabuk untuk memastikannya. Semua berjalan dengan lancar, namun hatinya tidak begitu.
"No. Aku menangkap basah dirinya," ujar Ardelle dengan parau. Shane menganggukkan kepalanya. Jawaban lain yang diterimanya membuat ia berpikir jika Louis melakukan sesuatu yang salah. Bertanya saat ini akan membuat hatinya semakin berat. Ia menoleh ketika Ardelle berbisik.
"Aku akan membunuhmu jika kau mengkhianatiku, Shane."
"Never," jawabnya dengan cepat.
"I hate that word," ucap Ardelle dengan parau. Air mata itu bahkan tidak berhenti sejak tadi membuat ia lelah dan pusing.
Setelah ia menghubungi salah satu jet untuk terbang ke New York, Shane segera menjalankan mobil sport yang hanya terdiri dari dua pintu. Matanya melirik Ardelle dengan khawatir. Ia tahu nonanya belum tertidur sama sekali sejak mereka dari Club.
"Saya belum mengemas pakaian, nona," ujar Shane, berusaha mengajak Ardelle untuk berbicara.
"Aku akan membayar semuanya. Kau cukup hanya diam."
***
"Ardelle menghubungiku." Camille menurunkan ponsel dari telinganya.
"Apa?"
"Apa tidak masalah jika aku memberi alamatmu padanya?"
"Tentu tidak masalah, Camille. Ardelle juga temanku. Tapi...kenapa?" tanya Lucky heran ketika Camilla terlihat gelisah.
Camille menggeleng pelan dan meremas ponselnya dengan cemas. "Aku tidak tahu. Suaranya..."
"Aku khawatir," lanjut Camille setelah ia menjedanya cukup lama. Sudut matanya bahkan sudah berair ketika ia mendengar suara parau Ardelle.
Lucky segera merengkuh Camille ke dalam pelukannya. Ia berusaha menenangkan perempuan itu dengan mengelus punggungnya dan mengecup kedua pipi Camille. "Lalu bagaimana dengan jadwalmu?"
Camille menggigit bibirnya. Seharusnya ia sudah jalan menuju studio sekarang. Namun, nama Ardelle tiba-tiba muncul di layar ponselnya. "Aku harus membatalkannya."
Lucky mengurai pelukannya dengan tangan yang masih berada di pinggang Camille. "Kau benar-benar menyukai Ardelle?" tanya Lucky sembari terkekeh pelan.
Bibir Camille terbentuk senyum tipis. "Dulu ia tidak terlihat palsu di mataku. Tapi setelah ia kembali dari Australia, yang hanya aku lihat adalah topengnya. Aku sangat menyadari perbedaan itu dan aku rasa Ardelle hanya ingin hidup sebagai orang biasa." Camille mengangkat bahunya sejenak. "Mungkin itu sebabnya ia tidak mau membahas apapun tentang latar belakangnya," jelas Camille.
Suara bel membuat mereka menoleh. "Aku yang akan membukanya," ucap Lucky lalu berjalan cepat ke arah pintu dengan Camille di belakangnya.
"Ardelle—"
Tangan Lucky dengan sigap menangkap tubuh Ardelle yang jatuh. Ia terhenyak lalu menatap orang di belakangnya. "Ada apa dengannya?" tanya Lucky lalu mengangkat badan Ardelle dan membawanya ke kamar tamu. Shane dan Camille mengikuti langkah Lucky.
Camille segera mendekat ke arah Ardelle ketika sahabatnya sudah terbaring dengan nyaman. "Elle?" bisik Camille. Ia menatap Ardelle dengan lembut saat mata birunya terlihat terbuka sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romance#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...