"Kenapa kau hidup miskin padahal kau kaya?"
"Karena aku tidak pernah miskin."
Camille ingin memukul kelapa Ardelle berkat jawabannya. Ia mendengus sebal ketika plester masih tertempel dengan erat di pelipisnya. Ia lalu membantu Ardelle merapikan pakaiannya. "Sekarang kau harus terbuka padaku. Aku sudah melihat kau ditampar oleh kakakmu sendiri dan sekarang aku ingin melihat apartementmu," ujar Camille. "Sayangnya aku tidak bisa melihat sekarang. Aku ada photoshoot," lanjutnya. Selama mereka berteman, Camille sama sekali tidak tahu di mana apartement Ardelle karena perempuan itu begitu tertutup.
"Pergilah. Aku akan pulang sendiri."
Camille mengerutkan dahinya. "Siapa bilang sendiri? Marshall akan mengantarmu," sahut Camille sambil menoleh ke arah pintu.
Ardelle melihat pria itu berdiri di ambang pintu sembari menyandarkan bahunya. Matanya menatap Ardelle seolah menyuruhnya cepat, padahal mata itu hanya menatapnya dengan biasa saja. Setelah Camille menghilang, mereka masih berada di tempatnya masing-masing. Ardelle duduk di kasur dan Marshall masih di ambang pintu. Ardelle menghela nafas. Entah bagaimana semua masalahnya, Marshall selalu terlibat.
Ia beranjak dari kasurnya lalu berjalan ke arah Marshall. "Aku akan pulang sendiri," ucapnya dan melewati Marshall bergitu saja.
"No thank you?"
Langkahnya terhenti ketika Marshall bersuara. Ia membalikkan badannya. "Aku akan ganti rugi semuanya. Berikan nominalnya dan aku akan mengirimnya," ujar Ardelle.
"I don't want your money."
Matanya menatap Marshall. Terkadang, ia sama sekali tidak bisa mengartikan ekspresi dari pria ini seperti sekarang. Itu membuatnya membalikkan badannya dan pergi dari sana. Meninggalkan Marshall yang masih menatap punggung Ardelle hingga hilang dari pandangannya.
***
Ardelle mengetahui maksud dari Joey menamparnya. Ia tidak datang saat 4 tahun kematian ayahnya.
Tangannya mengarahkan ujung botol itu pada mulutnya. Ia menegak habis dari white wine yang isinya tinggal setengah. Setelah keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, ia sama sekali tidak meninggalkan apartmentnya ini. Mata birunya melihat keadaan sekitarnya. Tepat di lantai ruang tamu, beberapa botol white wine tergeletak tidak tau arah. Lalu ia teralih pada piano besar yang terletak di tengah-tengah ruang tamu. Ukuran dari apartmentnya tidak terlalu besar, sehingga piano itu terlihat menyesakkan.
Ia menekan tuts piano di sampingnya, sembari menyesap botol ketiga yang baru saja ia buka. Ardelle menggeleng ketika kilasan-kilasan itu terlihat di matanya. Ia mengangkat botol itu dengan sekuat tenaga dan meminumnya hingga setengah. Suara bel apartment membuat Ardelle melangkah tak teratur. Ia mengernyit perih pada perutnya sebelum membuka pintu.
"Ardelle?"
"Oh wow," gumamnya. "Kenapa kalian selalu ingin masuk ke dalam hidupku?" tunjuknya satu per satu.
"Are you drunk?" Camille membuka lebar daun pintu itu dengan paksa. Ardelle yang masih memegang gagang pintunya, langsung terhempas ke depan karena ia tidak bisa mengkontrol badannya. Seseorang memegang pinggangnya erat.
Ardelle mengernyitkan dahinya. "Aku tahu parfum ini," gumamnya sembari terkekeh. Ia menusuk dada itu dengan telunjuknya.
Camille yang memasuki apartment Ardelle, tercengang ketika menemukan piano besar dan beberapa botol-botol berserakan di lantai. Ia berbalik menatap Ardelle dengan marah. "Apa yang terjadi di sini?!" bentaknya. Lucky yang ada di sampingnya hanya mengelus punggungnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/303393368-288-k550008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Romansa#1 in your eyes Ardelle Cavanaugh, hanya perempuan biasa di mata birunya. Namun di mata orang, ia adalah pengatur di keluarga Cavanaugh. Tiga tahun menetap di New York membuat bebannya berkurang. Namun, bertemu Marshall El Blackton sepertinya merupa...