21 - Crazy

273 19 0
                                    

"Kau harus menemui Louis," ucap Rose langsung ketika ia baru saja masuk ke dalam ruangan.

Ardelle terdiam dengan mata yang menatap penuh ke arah bibinya. Tidak ada sapaan, tetapi Rose langsung mengucapkan maksud kedatangannya. Rose datang sejauh ini demi Louis.

"Jangan mengaturku."

Rose mengeratkan pegangan pada tas kecilnya. "Jadi, kau sudah tahu semuanya?"

Bibir Ardelle membentuk sebuah senyuman sinis. Nadanya terdengar gemetar dan Louis pasti sudah memberitahunya. "Tentu, semuanya," bisiknya lalu terkekeh. "Bagaimana kau mendorong Paman dari tangga, dan kau hanya membiarkan saja. Lalu Louis yang membersihkan urusanmu, semuanya. Kau tega sekali, Bibi," ujar Ardelle. Ia bangkit dari duduknya dan mengelus wajah bibinya. Ardelle tersenyum lebar ketika warna kukunya sangat kontras dengan kulit Rose.

"Apa suamimu tahu kalau kau adalah selingkuhan kakaknya, lalu kau membunuhnya? Padahal bibi juga yang membunuh—"

Rose segera mendorong Ardelle hingga terdengar suara debuman ketika tubuh perempuan itu jatuh dengan keras menyentuh lantai. Ardelle membiarkan Rose berada di atas tubuhnya. Wanita ini menamparnya berkali-kali hingga ia merasa ujung bibirnya robek. Wajah amarahnya membuat Ardelle tertawa.

"Kau membunuh ayahmu. Kau harus ingat ketika kau membanting stirmu begitu saja. Ingat Ardelle, kau sudah membunuh dua orang hari itu," desisnya sembari menguatkan jemarinya pada leher Ardelle.

Shane benar.

Seharusnya ia tidak menemui Rose sekaligus tidak membiarkan Marshall mengosongkan lantai 4 ini. Jemarinya yang kasar menarik rambut Ardelle dan menghantam kepala itu ke lantai berkali-kali.

"Kau masih bisa tertawa?!" teriak Rose ketika mendengar suara tawa yang keluar dari mulutnya. Emosinya naik begitu saja. Ia merasa diremehkan oleh anak kecil tidak tahu diri di depannya.

Suara pintu yang terbuka lebar bahkan tidak menghentikan Rose dari perbuatannya. Marshall langsung menarik Rose dengan kasar dan mendorongnya keluar. Dengan cepat ia menutup pintu itu dan menguncinya dari dalam ketika Rose masih berusaha untuk membuka pintu tersebut.

"BUKA PINTUNYA SIALAN!"

Marshall menyentuk earpeace di telinganya. "Usir orang gila di depan pintuku."

Matanya lalu melirik ke arah Shane yang memegang bahu Ardelle. Ia ingin mendekat. Namun Marshall justru ingin tahu apa yang akan Shane lakukan pada Ardelle.

"Nona," panggilnya dengan gemetar. Ia mengangkat kepala dan bahu Ardelle, berusaha untuk mendudukkannya. Pandangannya bergetar ketika tangan besarnya terasa basah.

"Dia emosi," kekeh Ardelle. Tawanya kembali hadir. "Bagaimana orang seperti dia bisa diperebutkan oleh dua orang?!" tanya Ardelle menggebu-gebu. Matanya melotot dengan senyum lebar. Tubuhnya semakin tidak terkendali.

"Aku akan membunuhnya."

Ardelle bangun namun bahunya segera di tahan. Suara tamparan mengalun keras membuat Marshall membeku melihat kejadian di depannya. Tangan Shane masih berada di udara, gemetar. Dengan darah yang menghiasi telapak tangan itu, Ardelle baru menyadari bahwa kepalanya berdarah dan rasa sakit mulai menusuknya.

Tangannya naik untuk mengusap darah yang keluar dari hidungnya dengan pelan. Lalu melirik ke arah Shane yang mulai terisak. Shane menurunkan tangannya, namun kepalanya mulai terkulai lemas dan jatuh di atas bahunya. Shane semakin terisak keras.

Ardelle lalu memalingkan wajahnya ke arah Marshall yang terdiam. Bibir itu tersenyum manis. Walaupun ujung bibirnya mengeluarkan darah segar.

"Sudah aku bilang kau tidak bisa membuatku sadar seperti Shane, Marshall."

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang