07 - Magical Spell

386 32 2
                                        

"Kenapa diam di sana?"

Marshall terdiam di sisi dapur. Ia hanya menatap punggung Ardelle sampai perempuan itu menyadarinya. Marshall lalu melangkahkan kakinya ketika Ardelle meringis. Ia segera membawa tangan Ardelle menuju keran air.

"Tidak apa-apa. Aku hanya menyentuh panci itu sedikit. Duduk, Marshall."

"Apa itu perintah?"

Ucapan serak Marshall membuat Ardelle mendongakkan kepalanya. Marshall lebih tinggi darinya. Dengan aura yang sangat dingin, pria itu bisa menggaet wanita mana pun yang ia mau.

Kenapa Marshall mau pergi dengannya?

Ardelle mengingat kejadian di kantor Marshall ketika pria itu langsung mengambil kunci mobil dan menarik tangannya. Dalam keterkejutannya, Ardelle masih dapat melihat Flair yang menatapnya dengan sinis.

Matanya mengerjap ketika merasakan hembusan nafas di dekat wajahnya. Tangannya menahan dada Marshall saat pria itu semakin maju. Jarak di antara mereka kian menipis.

"K-kenapa?" tanyanya gugup. Pria itu terlihat menelisiknya.

"Tuan," sapa Gibson, tiba-tiba sudah berdiri tegak di ujung sana.

"Yes, Gibson."

Marshall tidak terpengaruh dengan kedatangan Gibson. Matanya masih menatap mata biru yang sama dengannya. Ia memegang erat tangan Ardelle ketika perempuan itu ingin melepaskannya. Tangan besarnya segera menarik pinggang Ardelle untuk semakin dekat dengan dirinya.

"Saya akan menaruh obat anda di sini. Schedule anda sudah saya pindahkan ke hari lain, sir. Selamat beristirahat," ucap Gibson. Ia langsung menunduk hormat ketika Ardelle meliriknya. Ardelle hanya tersenyum masam lalu pandangannya mengikuti tubuh Gibson yang sudah menjauh.

"Sir."

Marshall menyeringai. "Sir?" tanya Marshall dengan geli.

"Lepas."

Marshall langsung melepas Ardelle, baik tangan maupun pinggangnya. Ia terkekeh lalu duduk di meja makan. Matanya mengawasi gerak-gerik Ardelle yang membawa semangkok bubur panas.

"Makan," ucap Ardelle. Ia menatap Marshall yang sedang mengambil sendok dan mulai memakannya. Jari telunjuk Ardelle menggaruk kecil bibirnya ketika keheningan melanda mereka berdua. "Apa aku merepotkanmu?" tanyanya, mulai membuka topik pembicaraan yang ingin ia tahu.

"Waktu itu saat aku mabuk," ucap Ardelle ketika Marshall hanya menatapnya.

Marshall mengangguk, membenarkan pertanyaannya. "You kissed me."

"Apa?"

"Kau menciumku," ulangnya.

"Bagaimana bisa?" Ardelle menutup mulutnya. Ia mencoba mengingat kejadian pada hari itu namun sama sekali tidak ada yang terlintas di benaknya.

Marshall meminum airnya hingga tandas. Ia mengetuk jarinya di meja dan menatap Ardelle yang masih berdiri di sampingnya. Wajahnya tampak berusaha keras untuk mengingat. Tangannya naik lalu mendorong mangkok itu dengan pelan dan beralih menarik Ardelle dengan keras.

Ardelle terpekik ketika Marshall menariknya. Ia membulatkan matanya dan ingin beranjak dari pangkuan Marshall tetapi tangan pria itu menekan pinggangnya untuk tetap diam.

"Bagaimana bisa?" tanya Marshall, mengulang pertanyaan Ardelle.

"Like this," lanjutnya, lalu mengecup bibir Ardelle.

Ia menatap raut wajah perempuan yang sedang duduk di pangkuannya ini. Terlihat kaku dan salah satu tangannya menahan dadanya sedangkan yang satu memegang bisepnya, meremasnya dengan keras.

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang