Lala menghela napas ketika dirinya lagi-lagi masuk ruang sidang karena suatu hal. Dan Lala sangat membenci ustadzah pembimbing keamanan yang sangat bertele-tele.
"Ustadzah, afwan. Tapi inti dari sidang ini apa, ya? Ana masih kurang paham," tanyaLala membuat ketiganya geram.
"Ente masih nanya? Ente tadi ketemu mamanya Dika 'kan?" sembur ustadzah Nihaya. Di sampingnya, ustadzah Minha tersenyum sinis ketika mendengar ustadzah senior memberikan hukuman berat pada Lala.
"Afwan, ustadzah. Tapi ana enggak minta mamanya Dika untuk mengunjungi ana. Justru ana lagi menunggu kakak ana." Balasan Lala membuat Minha tak senang. Lala juga menatap Minha tak senang. Sedari dulu sangat sering mengusiknya, terutama mengusik hubungannya dengan Dika. Padahal yang di hadapannya pun tak sengaja Lala pergoki sedang jalan berdua dengan laki-laki.
"Lala, ente udah jadi pengurus. Bukan lagi anggota yang harus diingetin! Enggak malu apa, sama orang tua ente sendiri?" sahut ustadzah Minha yang makin membuat suasana semakin memanas. Lala hanya menghela napas ketika ruangan semakin dipanasi. Rasanya seperti seseorang melempari minyak tanah atau bensin di ruangan tersebut.
"Sekali lagi maaf. Tapi saya ana menunggu keluarga saya untuk mengunjungi saya. Saya enggak berharap bahwa mamanya Dika mengunjungi saya. Bahkan saya enggak tahu siapa yang mencari saya kalau bukan adiknya Dika yang menghampiri." Lala mengepalkan erat tangannya hingga buku-buku jarinya memutih guna meredam emosi. Seseorang sedang mencari masalah dengannya.
"Lala, ana tahu ente enggak akan meminta keluarganya Dika untuk menjenguk kamu. Harusnya kamu bisa menolak dengan menjelaskan baik-baik bahwa sebelum adanya ikatan yang sah, tidak boleh kamu ente bertemu seperti itu." Ucapan Ustadzah Nihaya mereda seiring dengan intonasinya yang merendah. Lala akui, kesalahannya adalah tidak menjelaskan pada mamanya Dika dan tidak ada saksi, tetapi tetap saja merepotkan jika dijatuhi hukuman.
"Lala, karena ente enggak ada saksi ataupun menjelaskan ke keluarganya Dika, kamu tetap dijatuhi hukuman. Satu minggu khimar merah, SP, plus nulis Al-Fatihah 7 kali, istighfar 100 kali, sama Yasin 5 kali."
Lala hanya menghela napas. Ia tidak bisa protes atau apapun. Jika keluarganya menjenguk, mungkin saatnya ia meminta tanda tangan untuk SPnya.
"Gimana kena hukuman lagi?" tanya Minha pada Lala setelah kepergian Ustadzah Nihaya.
"Jangan senang dulu. Ane punya bukti kalau ustadzah juga jalan sama cowok." Jawaban Lala jelas membuat Minha langsung menatapnya. Lala tersenyum ramah seperti biasanya, seakan mencemooh Minha dengan kartu AS yang dipegangnya.
"Bukan berarti ane enggak bisa laporin karena ente sebagai ustadzah. Usia kita enggak beda jauh buat pakai panggilan ane-ente." Lala meninggalkan Minha yang terdiam dalam posisinya. Sedangkan Minha menggeram melihat kepergian Lala yang menyunggingkan senyum sinis. Jemarinya terkepal, seakan ingin semakin menjebak Lala.
.
.
.
"Obat gua di mana, sih? Apa ketinggalan di kamar Bang Rayyan?" gumamnya dengan nada bertanya pada dirinya sendiri. Bahaya jika obatnya itu hilang, setidaknya itu bisa untuk satu minggu lagi. Mau tidak mau, Dika harus kembali menyambangi kamar Rayyan lagi walaupun baru lima belas menit lalu ia tiba di kamarnya. Untungnya, kamar Rayyan berada di satu koridor yang sama dengan dirinya. Itu memudahkan dirinya untuk berkomunikasi atau mendapat informasi.
'Lala dipanggil lagi sama amni? Gara-gara apa?'
Dika mengernyitkan dahinya mendengar suara sang kakak di balik tembok. Lala, dipanggil lagi sama amni? Karena apa? Setidaknya itu yang ada di pikiran Dika saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Bersemi di Pondok Pesantren (CBPP) HIATUS
Teen FictionLale Labibah Al-Fathi. Atau disapa dengan sebutan Lala. Anak bungsu dari keluarga Al-Fathi dengan kehidupannya di pesantren. Lala mempunyai trauma. Ia takut ditinggal pergi oleh orang-orang tersayangnya. Dan kini terjadi lagi ketika orangtuanya menj...