the visit

2.8K 129 6
                                    

Ia adalah Lale Labibah Al-Fathi. Dipanggil oleh keluarga dan teman-temannya Lala. Anak bungsu dari keluarga Al-Fathi ini memiliki 2 kaka laki-laki. Ialah Muhammad Bayazid Al-Fathi dan Muhammad Orkhan Al-Fathi. Dua orang yang selalu melindunginya​, sekaligus menjadi sandarannya disaat ia butuh motivasi.

Baginya, mempunyai 2 abang yang cukup jauh dari segi umur, membuatnya nyaman bercerita dengan mereka. Sedangkan kaka perempuannya telah pergi meninggalkannya 9 tahun yang lalu. (Autor udah menceritakan tentang Chacha di part sebelumnya yy).
.
.
.
"Dek, kamu udah rapih belum??" Tanya Syamil ke putri bungsunya itu. Yang ditanya langsung menampakkan dirinya yang sudah rapih dengan busana muslimahnya yang selama ini jarang ia pakai.

"Widddihhh, mau kemana lu dek?? Rapih amat!" Ujar Ayaz yang disetujui oleh Orkhan pula.

"Sumpah yaaa.. kek jelangkung lu pada!" Ujar Lala sambil berjalan menuju ruang makan untuk sarapan terlebih dahulu.

"Pa, emang adek mau kemana sih, pa?" Tanya Orkhan kepo. Lala hanya mendengus kasar. 'kepo amat sih sama urusan orang.' ujar Lala dalam hati sambil tetap memakan makanannya.

"Adek sama papa mau cari Pesantren." Jawab Syamil tenang lalu melanjutkan makannya kembali.

"Berdua doang?? Orkhan boleh ikut ga pa?" Tanya Orkhan, berharap papanya akan menjawab iya. Sedangkan Lala, tidak perlu ditanya lagi bagaimana reaksinya. Ia memasang wajah terjuteknya kepada Orkhan.

"Memang tugas kamu sudah selesai semua?" Tanya Syamil sambil menatap putra keduanya itu.

"Tugas kantor udah selesai pa. Papa tenang aja, Orkhan udah selesaiin semuanya tepat waktu. Kan, papa juga minta kirimin ke email papa hasil kerja Orkhan!" Jawab Orkhan dengan senyum penuh kemenangan. Papa pun mengangguk mengizinkan Orkhan untuk ikut.

"Pa, kok bang Orkhan ikut sih?? Kan kita berdua doang!" Protes Lala tidak terima karena ia hanya ingin pergi bersama papanya saja.

"Ga papa, biar ada sopir yang setirin kita." Jawab papa yang langsung diprotes oleh Orkhan.

"Masa ganteng-ganteng gini jadi sopir? Wahhhhhh parah sih!" Protes Orkhan yang langsung dibalas senyuman dari Lala. "Ya udah gak papa gua jadi sopir lu yang penting gua ikut sama lu! Untung gua lagi baik sama lu." Ujar Orkhan yang dibalas dengan senyuman tipis dari Lala. 'Ga papa dek, gua jadi sopir lu, yang penting lu selalu senyum. Semenjak kepergian Chacha, lu jarang senyum.  Gua tahu lu masih belum ikhlas sama kepergian Chacha. Gua mau lihat senyum lu, senyum manis lu.' gumam Orkhan sambil mengacungkan jari ibunya yang besar. Yang ukurannya dua kali dari Lala.
.
.
.
At Bogor
Mereka bertiga keluar dari mobil dan mulai mengelilingi area pondok. Salah seorang santri yang sedang bertugas menjaga pos menghampiri mereka. Dengan pakaian pramukanya, santriwati itu terlihat tegas dan gagah, pikir mereka bertiga saat pertama kali melihatnya.

"Assalamualaikum, pak. Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya dengan sopan. Namanya Ayana Safitri. Mereka mengetahuinya​ dari name tag yang terpasang rapih dan lurus di dadanya.

"Waalaikumsalam, dek. Saya kesini ingin survei ke pondok ini. Saya tahu dari teman saya kalau pesantren ini termasuk pesantren yang bagus akan kualitas dan kuantitasnya. Makanya saya ingin melihat-lihat sistem pendidikan di pesantren ini." Jawab Syamil yang mendapat respon baik dari lawan bicaranya itu.

"Alhamdulillah kalau teman bapak beranggapan seperti itu. Dengan senang hati saya akan menjadi tour guide bapak berkeliling pesantren ini." Jawab santriwati itu dengan sangat antusias. Eitsss, jangan lupakan juga senyumannya yang merekah.
.
.
.
"Dek, gimana?? Kamu mau ga di pesantren ini??" Tanya Syamil sambil menatap lurus kearah​ jalan. Lala berpikir sebentar, lalu menatap punggung Orkhan dari belakang yang sedang menyetir.

"Biasa aja kali liatin guanya!" Ujar Orkhan sambil menggodanya lewat spion yang tergantung pada mobil. Lala langsung memasang muka juteknya. Tak peduli dengan suara tawa Orkhan yang menggelegar di mobil yang akan membawanya kembali ke rumah.

"Apaan sih lu bang! Jangan geer deh!" Seru Lala sinis lalu memejamkan matanya lalu ia pergi ke alam antah berantah.
.
.
.
Lala pov
Sampai di rumah, gua langsung disambut sama mama dan bang Ayaz. Gua langsung menghampiri mereka dan langsung bergabung di meja makan. Papa sama bang Orkhan juga menyusul gua dan ikut bergabung. Mengambil posisi masing-masing.

"Dek, gimana tadi survei ke pesantrennya??" Tanya mama memulai pembicaraan.

"Ehmmmm, bagus ma. Kayaknya adek mau disitu aja. Lagipula, adek malas kalau harus cari-cari lagi!" Jawab gua lalu meninggalkan ruang makan tanpa basa-basi karena mood gua ilang, gak tau pergi kemana. Mama dan papa cuma bisa geleng-geleng kepala. Sedangkan bang Orkhan, kayaknya mau ngejar gua. Tapi pasti ditahan sama bang Ayaz.

"Jangan dikejar! Biarin dia tenangin hati dan pikirannya." Perintah bang Ayaz ke bang Orkhan, yang gua dengar dari kejauhan.

Sesampainya di kamar, gua kembali buka surat terakhir almarhum ka Chacha buat gua.

"Kak, adek bakal masuk pesantren. Ini bukan karena wasiat Kaka doang, tapi adek sadar, ilmu agama penting. Makanya adek butuh sebuah benteng yang bisa nahan nafsu adek. Mungkin, kalau Kaka ga nyuruh adek buat masuk pesantren, adek ga bakal pernah kepikiran sama semua itu." Ujar gua ke foto ka Chacha. Gua harap kak Chacha denger apa yang gua omongin.

Toktoktok...

"Siapa??" Tanya gua sedikit teriak.

"Kita berdua dek!" Jawab salah satu abang gua yang gua yakin suara bang Ayaz. Soalnya suara bang Ayaz itu nge-bass banget. Sama kayak suaranya V BTS.

"Masuk aja! Pintunya gak adek kunci!" Perintah gua. Mereka masuk dan langsung duduk ambil posisi disamping gua.

"Kenapa lagi??" Tanya bang Ayaz. Kalau ngomong sama dia gak bakal bisa bohong dah.

"Adek kangen sama kak Chacha. Adek mau ke makam kak Chacha yaa bang besok! Pleaseee..." Pinta gua sambil memohon.

"Yaudah, besok gua anter!" Jawab bang Ayaz simple. Gua peluk bang Ayaz, lalu bersandar di bahunya, persis seperti apa yang biasa gua lakuin ke papa. Entah mengapa gua lebih akrab sama papa dan bang Ayaz daripada mama dan bang Orkhan—yang suka bercanda. Sebenarnya bang Orkhan itu baik, cuma suka usil aja, yang bikin gua males sama dia.

"Yaaa, cuma bang Ayaz doang! Gua kagak??" Tanyanya. Gua langsung memeluk bang Orkhan.

"Dek, semua orang di rumah pada sayang sama lu. Makanya, lu gak perlu sungkan kalau mau cerita sama gua. Gua cuma mau liat lu senyum doang. Bukan wajah jutek lu." Ujar bang Orkhan sambil berbisik. Akhirnya gua cuma bisa kayak kucing yang ngusel-ngusel di dada bang Orkhan.

"Semua sayang lu, dek! Kita tahu lu sayang banget sama Chacha, kita juga sayang. Tapi, apa pantes kalo kita terlalu lama sedih? Malah Chacha yang ga tenang disana." Ujar bang Ayaz yang membuat gua sadar, kalau selama ini, gua salah.

"Gua, Orkhan, mama, papa, selalu ada untuk lu. Lu bisa cerita ke gua sama Orkhan. Kita punya prinsip, sesibuk apapun kerjaan kita, kalau masalah keluarga, itu harus diutamakan. Lu paham kan maksud gua?" Tanya bang Ayaz yang gua jawab dengan anggukan. Bang Ayaz langsung peluk gua, dan kita bertiga berpelukan layaknya teletubies.

Cinta Bersemi di Pondok Pesantren (CBPP) HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang