Tak terasa, waktu telah memasuki pertengahan bulan September. Bahkan semua santri Daarut Tauhid telah melaksanakan UTS.
Lala dan teman seangkatannya sedang sibuk menjadi panitia pelantikan untuk angkatannya. Dan kini, Lala sedang sibuk berkeliling pesantren. Menyambangi beberapa rumah ustadz guna menandatangani susunan acara yang telah disusun olehnya dan beberapa kawannya.
Bahkan kini, hubungan mereka sedikit merenggang. Lala yang bahkan tak mengetahui, bahkan tak mendengar keadaan Dika sama sekali melalui Rayyan, justru membuatnya uring-uringan. Bagaimana tidak? Terakhir kali, ia mendengar kabar lelaki itu kala ia dirawat di UKP dan berakhir dengan rujukan ke sebuah rumah sakit swasta di Bogor.
"La, emang ente gak ngerasa kalau Dika lagi nyembunyiin sesuatu?" Tanya Chika sembari berbisik di tengah ramainya antrian kamar mandi.
Lala terdiam. Itulah yang dipikirkannya sedari tadi. Lelaki itu cenderung menyembunyikan sakitnya dari khalayak. Katanya, tidak ingin merepotkan orang lain. Ya, dan harus gadis itu akui fakta bahwa lelaki itu memang keras kepala. Apa yang dirasakannya, jangan sampai membuat khalayak panik.
"Ane dijenguk besok. Coba aja ente chatt dia." Usul Chika yang diangguki Lala. Setidaknya ia harus mengetahui keadaan lelaki itu.
.
.
.
Rayyan tersenyum ketika lelaki di hadapannya tetap semangat menjalani aktifitasnya kala infus dan nasal canula tetap menempel pada dirinya. Jika kalian berfikir bahwa itu senyum bahagia, kalian salah. Nyatanya, itu adalah senyum dengan makna penuh kesedihan. Melihatnya mengetik di ruangan tertutup bersama seorang temannya, ditambah kernyitan di dahinya menandakan seberapa lemah kondisinya saat ini.
"Ente gak papa, Dik?" Tanya Rifat yang hanya diangguki pelan oleh sang empu nama. Tak semudah itu Rifat percaya akan anggukan Dika. Terlebih, nafas Dika sedikit memberat saat diperhatikan dengan cermat. Ia membenahi laptop dan catatannya, lantas memapah Dika untuk berbaring di kasur.
"Ente lagi gak baik-baik aja. Mending istirahat. Ane yang bakal ngerjain."
Jujur, dalam keadaan seperti ini, Dika merasa tak enak hati oleh partner-nya. Seharusnya tugas itu, tugas mereka, bukan tugas Rifat seorang.
"Ente udah kasih tau dia?" Sontak Dika langsung menengok mendengar pertanyaan seperti itu.
"Kenapa harus ngasih tahu dia?" Tanya Dika balik seraya menormalkan laju pernafasannya.
Rifat tidak ingin menjawab pertanyaan retorik Dika. Jika Dika peka, maka ia tahu apa yang harus dilakukan.
"Setidaknya kasih dia kejelasan."
.
.
.
Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mungkin bagi sebagian orang, di jam segini sudah menjadi jam santai dimana mereka dapat melepas penat setelah kegiatan sehari penuh. Ditambah dengan cuaca sejuk karena angin sepoi-sepoi memasuki ruangan mereka melalui ventilasi udara.
Tapi, tidak untuk dirinya. Sedari tadi, ia memikirkan kata-kata Rifat sebelum lelaki itu meninggalkannya dengan alibi adzan maghrib. Memang tidak salah juga, karena pada saat itu menjelang adzan maghrib dan bel telah berbunyi. Bahkan lelaki itu yakin, bahwa Rifat belum sempat membersihkan dirinya.
"Setidaknya kasih dia kejelasan."
Bagaimana bisa ia memberi tahu keadaannya yang mengenaskan seperti ini kepada gadis tersebut? Bahkan saat ia collapse kemarin saja, ia sudah panik dengan mata sembab dan hidung yang merah. Gadis itu menangisi dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Bersemi di Pondok Pesantren (CBPP) HIATUS
Teen FictionLale Labibah Al-Fathi. Atau disapa dengan sebutan Lala. Anak bungsu dari keluarga Al-Fathi dengan kehidupannya di pesantren. Lala mempunyai trauma. Ia takut ditinggal pergi oleh orang-orang tersayangnya. Dan kini terjadi lagi ketika orangtuanya menj...