ujian susulan

357 21 0
                                    

Hidup itu berputar seperti roda.
Kadang diatas, kadang dibawah
~Lala dan Dika~

Akibat dari kambuhnya saat ujian, mau tak mau Dika melanjutkan ujiannya di ruang rawat berfasilitas VVIP di salah satu rumah sakit swasta ternama di Bogor. Sungguh, menghadapi berbagai kertas dengan aksara yang tertulis dari sisi kanan membuatnya gugup sendiri. Hah, salahkan jantungnya yang tidak bisa diajak kerja sama disaat seperti ini.

'Ya jangan salahin jantungnya lah.. Salah lu yang gak nurut dibilangin kak Ray.'

Karena imajinasinya yang melanglang buana seperti ini membuatnya tersenyum-senyum sendiri di kala kertas dengan aksara yang sedikit asing bagi orang awam menanti untuk diisi dengan jawaban yang tepat.

Sedangkan Rayyan yang kebetulan mendapat giliran mengawas Dika, hanya mengernyitkan dahi kala melihat lelaki berbeda beberapa tahun darinya tersenyum tanpa alasan yang jelas.

"Lu kenapa, Dik?" Tepat dihadapan wajah Dika ia bertanya. Membuat sang empu yang ditanya menetralkan deru napasnya yang nampak berburu karena dikejutkan dengan kekonyolan sang kakak.

"Bisa gak, gak ngagetin gua? Untung nyeri dikit doang." Tatapan sinis serta sarkastik pun tak ayal ia lemparkan pada sang kakak. Tak tahukah kondisinya baru saja membaik kemarin malam?

"Ya maaf! Lagian lu bengong aja, kan gua takut lu kerasukan." Terselip nada bersalah yang masuk tepat di indra pendengaran Dika. Ia yakin, Rayyan sangat sangat merasa bersalah.

"Gua gak kenapa-napa." Jawab Dika pada akhirnya. Tapi lantas tak membuat rasa penasaran Rayyan menghilang. Justru semakin menjadi.

"Terus tadi lu senyam senyum kenapa?" Tanya Rayyan sembari menelisik tatapan sang adik.

"Gua jadi inget dia." Mau tak mau Dika mengakui tepat di hadapan lelaki yang lebih tua tiga tahun diatasnya, mungkin. Lagipula, Dika bukanlah tipe manusia yang memerhatikan jarak usianya dengan orang lain.

Sedangkan Rayyan yang mendengar jawaban sang adik hanya mendengus kesal. Sabar, ujian jomblo emang kayak gitu! Sembari mengelus dada dalam semu khayalannya.

"Akhirnya lu jatuh ke pesona dia juga." Kekehannya ternyata memancing Dika menatap sinis manusia dihadapannya.

"Mana ada, dia juga jatuh dalam pesona gua!" Jelas Dika tak akan mau kalah jika menyangkut seperti ini. Harga dirinya harus dipertahankan. Kalau tidak, kata SWAG yang ia cantumkan untuk dirinya bisa hilang seketika.

Rayyan hanya menghela nafas saja. Tak ingin mendebat lagi. Lelah. Sampai kapanpun keduanya juga tak akan mengakui jika saling menyukai. Jadi, akal sehatnya mengisyaratkannya untuk diam dan memerhatikan Dika.

"Oh ya bang," Lantas Rayyan menengok kearah suara yang memanggilnya tadi. Sambil sedikit menukikkan sebelah alisnya, mengisyaratkan pertanyaan 'apa?' untuk si pemanggil.

"Mama sama papa gak tahu kan?" Lelaki yang ditanya pun lantas terdiam sejenak. Entah harus menjawab apa.

"Belum." Jawab Rayyan singkat. Tapi sepertinya yang bertanya tak puas dengan jawaban sang kakak. Seperti ada yang disembunyikan.

"Mana gua liat hp lu." Lantas memberikan barang yang diminta Dika. Oh ayolah, bahkan Rayyan seperti merasakan pemeriksaan pribadi oleh adiknya sendiri.

Setelah puas mengotak-atik ponsel milik Rayyan, Dika mengembalikan pada sang empu. Setidaknya ia tak harus mengeluarkan tenaga lebih untuk mengomeli Rayyan. Lagipula, jika itu dilakukan dan ia marah, bisa dipastikan benda sekepal tangan itu akan memarahinya balik. Dan ia tak ingin ada drama yang lebih panjang.

"Bang, apapun yang terjadi sama kondisi gua, tolong jangan kasih tau mama-papa. Apalagi Lala. Gua gak mau dia buyar karena mikirin gua." Lirihan Dika berhasil membuat Rayyan tercengang. Separah itukah kondisinya?

"Tapi, Dik...."

"Gua mohon bang. Gua tau kondisi gua walaupun lu gak ngasih tahu gua. Gua yang punya tubuh ini, gua juga ngerasain. Perubahan sedikit pun juga kerasa." Potong Dika sembari meremas selimut yang ia kenakan. Bukan, bukan karena benda sekepal tangan itu berulah, tetapi menahan diri untuk tak mengeluarkan kristal dari sepasang netranya.

Rayyan menghela napas. Mungkin jika tak memberi tahu Lala sedikit benar. Ingat, SEDIKIT. Tapi bagaimana dengan orang tua mereka? Dan jika mendebat Dika dalam keadaan seperti ini, bisa-bisa adiknya akan kembali tumbang karena emosinya. Dan Rayyan tak menginginkan itu terjadi.

"Eh, lanjut ngerjainnya. Jangan ngebucin mulu!" Ujar Rayyan sedikit menyentak ketika melihat lembar jawaban yang baru diisi sebagian.

"Iya iya, gua isi. Bawel amat, sih!" Sungut Dika sembari mempoutkan bibirnya lantas mengerjakan soal-soal yang belum terisi.

"Nih, udah!" Daripada memilih beristirahat setelah mengisi soal yang membuat kepala pusing, alih-alih Dika kembali mengambil buku lain untuk dipelajari. Kembali membacanya. Jika saja buku itu tak ditarik secara tiba-tiba oleh Rayyan, mungkin Dika akan mempelajari semuanya.

"Istirahat!" Titah Rayyan lantas merapihkan pekerjaannya yang ia bawa sembari menemani Dika.

Dika hanya menurut. Ia tahu, Rayyan hanya bingung bagaimana harus berbuat.

.

.

.

Selagi Dika istirahat, Rayyan pergi menuju taman rumah sakit sembari membawa soal yang telah Dika kerjakan. Tangannya bergerak kearah kantung untuk mengambil benda pipih tersebut. Lantas men-dial angka 1.

"Assalamualaikum, ma. Dika, kambuh." Jujur, Rayyan ragu ketika memberitahu sang mama. Bahkan sudah didengar bahwa mamanya terlihat sangat panik ketika dua kata terucap dari bibirnya.

"Mama jangan kesini. Dika gak mau kalian khawatir. Doain aja supaya cepet pulih."

"Iya, ma. Waalaikumsalam."

Setidaknya mamanya mengerti apa keinginan Dika. Dan cukup mempercayai dirinya yang menjaga Dika.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hamdalah akhirnya aku update.
Real life ku sudah dipenuhi tugas. Entah tugas rumah atau tugas kuliah.
Ditambah mood yang naik turun kek roller coster.

Cinta Bersemi di Pondok Pesantren (CBPP) HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang