Rayyan menatap nanar luka yang dibuat Dika akibat menghajar lantai kamarnya begitu saja. Sudah darahnya sukar berhenti, napas Dika juga tak beraturan karena emosi. Mau bilang sudah jatuh tertimpa tangga, tetapi Rayyan juga yang kena imbasnya. Ia cukup tidak suka dengan pepatah satu itu.
"Dik, lu kontrol emosi lu, oke? Kalau lu gak kontrol, nyeri dada lu makin sakit yang ada," ujar Rayyan yang sepertinya tidak dihiraukan Dika.
Dika tetap menangis dalam diam. Salahnya yang tak memberitahu keluarganya jika Lala sedang diincar. Dan sekarang, yang kembali rugi adalah Lala, bukan dirinya. Terlebih penyebabnya adalah ia sendiri.
"Gua harus gimana? Bahkan kayak begini aja, Lala yang kena terus. Seakan, itu semua salah Lala. Padahal, ada kesalahpahaman di kasus ini," sahut Dika sambil menyelaraskan napasnya agar tidak semakin sesak. Walaupun ia tidak yakin, karena nyeri di dadanya semakin terasa.
"Kontrol emosi lu dulu. Lu tau, kan, Lala selalu bisa selesain masalahnya dengan baik. Just believe her, oke?"
Rayyan melirik arlojinya. Tiga puluh menit berlalu sejak Dika menyambangi kamarnya, dan belum ada tanda-tanda kalau kondisimya mulai stabil. Rayyan langsung mengambil ponselnya kembali dari saku celana dan langsung izin kepada kepala asrama. Dika butuh dibawa ke rumah sakit.
.
.
.
Gedung UDD PMI Bogor memang tidak sejauh itu dengan rumah sakit yang menjadi pilihan Rayyan untuk rawat inap Dika. Permasalahannya, tidak ada golongan darah yang cocok dengan Dika dan stok persediaan sedang habis. Mau tidak mau, Rayyan harus menghubungi anggota keluarganya.
"Bang, please! Gak bisa kita tangani tanpa harus telepon orang rumah?" Rayyan menggelengkan tanda tidak ada pilihan lain.
"Lu sama mama punya golongan darah yang sama." Dika hanya menatap kosong pandangan di depannya setelah mendengar penjelasan Rayyan.
"Gua semerepotkan itu, ya, jadi orang?" lirihnya tetap dengan pandangan yang kosong
Rayyan menggeleng pelan, tanda tidak menyetujui opini Dika.
"Gimana gua mau ngelindungin Lala kalau gua aja lemah begini?"
"Dik, bisa gak, lu gak mikir begitu?" Rayyan sedikit menaikkan intonasi suaranya.
"Faktanya emang begitu, kan? Bahkan untuk diri sendiri aja, gua gak becus," balas Dika membuat Rayyan mengepalkan tangannya.
"Udah, gak usah overthinking. Udah kayak cewek aja lu, overthinking mulu." Rayyan sengaja mengatakan seperti itu. Jika tidak, overthinking Dika akan semakin jadi jika ia tidak sudahi.
"Gua mau telepon mama dulu. Lu gak usah protes lagi. Istirahat aja," perintah Rayyan sambil melangkah keluar dari ruangan Dika. Ia tidak bisa menjadi orang yang mellow, seseorang butuh bantuan cepat.
Rayyan mengeluarkan ponselnya dan langsung mengetik dari touchscreen ponselnya. Lalu mendekatkan pada telinganya.
"Ma, hemofilia Dika kambuh. Butuh donor darah."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Assalamualaikum, annyeong yeorobun...
Seminggu ga update ya?? HehehAku update kok, tenang aja.. ga akan sampai 1 tahun baru update 1 bab..
Tapi cerita bab kali ini pendek banget, karena ada beberapa hal yang aku lupain dari ini novel.. I should re-read again, rght??
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Bersemi di Pondok Pesantren (CBPP) HIATUS
Teen FictionLale Labibah Al-Fathi. Atau disapa dengan sebutan Lala. Anak bungsu dari keluarga Al-Fathi dengan kehidupannya di pesantren. Lala mempunyai trauma. Ia takut ditinggal pergi oleh orang-orang tersayangnya. Dan kini terjadi lagi ketika orangtuanya menj...