Support

4.8K 180 9
                                    

Your support is very important for me in choosing the best decision

~Lale Labibah Al-Fathi~


Hari Minggu, waktunya Lala beberes kamar yang dari kemarin belum sempat ia bereskan. Sembari mendengarkan musik, sembari membenahkan kamarnya pula. Entah mengapa ia menyukai lagu bernuansa hip-hop tersebut. Walaupun sulit mengimbangi pelafalannya, tapi sedikit-sedikit ia memahamk maksud lagu tersebut. Ia juga menyukai lagu Korea semenjak gue denger lagu-lagunya BTS. Menurutnya nikmat untuk didengar. Walaupun lebih banyak nge-rapnya.

Toktoktok....

Saat Lala buka pintunya, ternyata sang ayah.

'Ada apaan ya papa nyamperin gue sampe ke kamar?'

"Pa, ada apa ya?" Tanya Lala ragu dan heran.

"Kata mama, kamu mau masuk pesantren?" Tanya sang ayah to the point. Tak ada ucapan santai sebagai pembuka pembicaraan.

"I...Iya pa! Lala mau masuk pesantren." Jawab Lala sambil menunduk. Syamil yang melihat Lala ketakutan setengah mati hanya tersenyum. Bahkan Lala sulit memaknai senyum tersebut

"Kalau kamu mau di pesantren, papa akan sangat mendukung keinginan kamu. Papa minta maaf ya sayang, karena mama sama papa ga mengajarkan kalian agama dengan benar. Kami terlalu dibutakan oleh duniawi." Ujar Syamil sembari mengelus surai legam tersebut. Dan, Lala dibuat mengernyit heran karena itu.

"Papa kenapa sih, bikin takut Lala tau gak? Lala kira papa marah! Ternyata..." Dumel Lala yang diakhiri tawa oleh Syamil. Inilah salah satu hobinya, membuat anak gadisnya mendumel.

"Maafin papa ya sayang! Papa cuma ngerjain kamu doang kok!" Balas Syami masih dengan sisa tawa laknatnya itu. Dari dulu, Lala tak bisa membedakan wajah serius dan wajah bercanda sang ayah.

"Makasih ya, pa! Udah izinin Lala belajar agama di pesantren!" Ujar Lala penuh syukur lalu memeluk Syamil dengan erat. Bagi Lala, lelaki yang ada di hidupnya saat ini; papa, bang Ayaz, bang Orkhan— mereka selalu melindunginya. Tak peduli dengan keadaan mereka. Yang mereka pikirkan hanya anggota keluarganya, khususnya yang perempuan. Karena mereka tak mau terulang itu untuk kedua kalinya. Ya, sembilan tahun yang lalu, dimana dia memutuskan menyerah dengan hal yang menyakitkan dalam tubuhnya.
.

.

.

Lala terdiam dikamarnya setelah mendengar pernyataan papa yang akan mendukung keinginannya untuk belajar agama.

Tapi, satu yang mengganggu pikirannya. Apa ia bisa hidup tanpa kedua abangnya yang selalu melindunginya? Yang selalu dijadikan sandaran baginya? Apa ia bisa mendapat motivasi baru selain dari kedua abangnya setelah ia kehilangan dia? Ingatlah bahwa ia cukup menarik diri dari pergaulan.

Ia pusing memikirkannya. Tanpa sadar ia tertidur. Ia bermimpi bertemu Chacha. Tapi setelah itu, ia tidak melihat Chacha. Ia tersadar dari mimpi itu. Ia menangis. Andai ia bisa melawan mereka.

Andai, andai dan andai yang ada dipikirannya. Ia menangis. Mengapa kejadian itu begitu cepat? Mengapa Allah mengambil dia yang sangat ia sayangi? Padahal, kalau saja ia bisa beradu mulut dengan seniornya dulu seperti Chacha, mungkin ia tidak akan kehilangan Chacha saat itu. Ia juga menyesal mengapa ia selalu mengajaknya berlari? Padahal ia tahu bahwa Chacha tidak boleh berlari, apalagi sampai jantungnya berdetak dengan abnormal. Ia mengambil fotonya dengan Chacha dulu sambil menangis.

"Kak, Lala kangen sama kakak. Kakak disana baik-baik aja kan? Maafin Lala ya kak, karena Lala sering bikin kaka panik sampai kaka sakit. Lala cuma gak mau ngerepotin kaka, tapi malah ketauan duluan sama kakak! Kak, seandainya kakak ga ngebelain Lala dulu, mungkin kita masih bisa main bareng sampai sekarang!" Gumam Lala sambil menangis. Air mata masih mengalir deras di pipinya yang mulus nan putih.

"Dek!" Panggil seseorang yang menghentikan tangisnya sesaat. Orang yang memanggilnya langsung mengambil tempat duduk tepat disamping Lala. Lala langsung menyenderkan kepalanya sambil melanjutkan acara tangisnya.

"Bang, Lala jahat ya sama ka Chacha?" Tanyanya sambil menangis.

"Lu gak jahat La. Allah sayang sama Chacha, Allah ga mau Chacha sakit terus. Makanya Chacha disuruh pergi dari kehidupan kita. Gua yakin dia udah bahagia disana. Gua juga yakin dia pasti bakal sedih kalau tau adik kesayangannya nangisin dia terus." Jawab Ayaz sambil mengelus pelan rambut Lala.

"Chacha selalu berusaha ngelindungin lu dari dulu, walaupun taruhannya adalah nyawa dia sendiri. Sekarang, waktunya lu tunjukkin sama Chacha, sama kami; kalau lu bisa jadi kebanggaan keluarga. Jangan sampai pengorbanan Chacha sia-sia. Lu sayang kan, sama kita?" Tanya Ayaz yang dijawab anggukkan oleh Lala.

"Lu buktiin ke kita kalau lu bisa mandiri. Kita bakal selalu dukung keputusan lu. We love you so much!" Ujar Ayaz lalu meninggalkan Lala di kamarnya seorang diri. Ia yakin apa yang dipilihnya, selama untuk kebaikan, pasti akan didukung oleh keluarganya.

"Bismillah,  gua bisa lewatin semuanya!" Gumamnya dalam hati dengan tekad yang kuat pula.

Cinta Bersemi di Pondok Pesantren (CBPP) HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang