2. Terpisah jarak dan waktu

28 6 0
                                    

"Kira-kira untuk perjalanan selama satu jam, kita akan sampai ke desa itu. Kalau tidak salah, namanya desa Bunglon," jari telunjuk Cahyadi bergeser mengikuti arus sungai pada kertas denah membentuk sebuah garis lurus kemudian membelok di akhir.

"Nama yang aneh tapi unik," lanjutnya berkomentar sembari melingkar daerah dengan simbol warna kuning.

"Satu jam?" Bayu memekik kaget dari arah belakang membuat bahu Cahyadi tersentak. Inspektur yang tengah tertidur di mejanya juga terkaget dan bangun. Ia mengusap sudut bibirnya dengan cepat menggunakan punggung tangannya, kantuknya mendadak lenyap.

"Ini adalah tahun tersial dalam hidupku," Bayu mengerang frustasi sembari melempar tubuh pada kursi putarnya menimbulkan suara berdenyit yang kemudian menaikkan bulu kuduk Cahyadi. Bahkan Bayu melihat warna kuning yang menandakan mereka harus melewati semacam dataran tinggi untuk sampai pada desa aneh itu.

Cahyadi menutup kertas peta yang sudah retak akan lipatan, bahkan banyak noda kopi di sela-sela garis bengkok.

"Kau tidak lupa untuk berterima kasih kan? Aku mencari informasi tempat itu hampir dua minggu. Bahkan sebelum kau datang, detektif jadi-jadian," Cahyadi menggeram sembari melipat tangannya. Tatapannya lurus menghujam Bayu yang kemudian berbalik badan ke arahnya.

"Jadi-jadian? Apa kau gila? Aku menyelesikan banyak kasus serius, bahkan sampai pembunuhan disana dan mendapat penghargaan," teriaknya kesal kemudian menarik sebagian seragam hitamnya—melambangkan warna departemen kepolisian kota— dan menunjuk pin emas yang tertancap pada dada kanannya.

Selain ponsel canggih yang bisa merekam pemandangan sejauh mata memandang dengan kabel putih yang menyalurkan lagu dangdut kemudian sepatu kets khas anak kotanya, tidak ada yang bisa dibanggakan dari Bayu lagi menurut Cahyadi. Sejak ia dipindahkan minggu kemarin, hanya sederet cerita klasik khas buku detektif yang Cahyadi dengar darinya. Dan jelas itu adalah kasus kecil yang dapat ditebak alurnya olehnya.

"Kalau kau begitu pandai dan terlatih, tidak mungkin sekarang aku melihatmu di kantor polisi kecil dan tak berdaya seperti ini. Tidak perlu membanggakan pinmu itu kepadaku, karena kau akan berganti seragam mulai hari ini,"  ujar Cahyadi tak mau kalah kemudian melempar seragam hijau neon yang dilipat rapi di dalam bungkusan plastik.

Bayu semakin naik darah ketika mendapat tamparan bungkusan plastik secara tak langsung pada wajahnya.

"Sekarang kau mengakui tempat kerjamu ini menjijikkan?" ujar Bayu sambil meletakkan plastik seragam ke atas meja dan mulai menjejalkan pandangan ke sekitar.

Bahkan Bayu masih mengingat detailnya, ketakutan yang menghampiri dirinya ketika ia ingin mengambil langkah masuk. Tidak ada lahan parkir yang penuh dengan mobil polisi dan sirene merah, yang ada hanya pohon beringin, sebuah mobil truk usang dan semak belukar seolah sewaktu-waktu ular atau binatang buas bisa saja muncul dari sana dan menerkamnya tanpa ampun. Bahkan plang namanya saja sudah terkelupas karena makhluk rayap dan miring sebelah. Masuk ke dalam, itu hanyalah sebuah kantor kecil yang kumuh. Ruangan yang tak terbilang luas sebagai ruang kerja mereka, satu kamar mandi dan satu gudang berisi berkas-berkas yang Bayu yakini lebih banyak buku detektif Cahyadi dan jaring laba-laba disana daripada laporan kasus kriminal.

"Dan semakin menyebalkan karena kau masuk," tambah Cahyadi.

"Argh..." suara erangan lain terdengar. Renanya bergerak antara Bayu kemudian Cahyadi sedari tadi berharap perdebatan mereka sampai pada ujung tapi waktu terasa  berjalan lambat untuk menunggu. Kepalanya mulai berdenyut.

"Bisakah kalian diam?" Fyodor, kepala inspektur mereka, mulai angkat suara. Menyandarkan punggung pada kursi yang lagi-lagi menimbulkan suara decitan, Cahyadi menggigil untuk sejenak.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang