23. Peringatan berakhir maut

5 2 0
                                    

"Apa maksudnya?" tanya Abi, tak mengerti dengan perkataan yang dilontarkan oleh mbak Dewi.

"Kalimat yang selalu dipegang teguh oleh Abikusno."

Bahu Abi tersentak pelan, "Bapak?" Abi kembali terdiam, lidahnya terlalu kelu untuk sekedar merespon panjang. Abi sendiri tidak pernah mendengar kalimat itu bahkan tidak tahu ayahnya terlibat dengan kehidupan mbak Dewi yang tampaknya cukup kacau.

"Pasti banyak yang mau kau ketahui sekarang. Tanyakanlah," kata mbak Dewi lagi sambil mengusap pelan pipinya, menghapus jejak air matanya.

Keadaan hening seketika sebelum Abi memutuskan untuk menuntaskan rasa penasarannya sedari awal. Terus melayangkan pertanyaan yang kiranya sedari tadi membebani pikirannya.

"Kenapa mbak tidak mau berbicara padahal tidak bisu?"

Raut Mbak Dewi terlihat santai seolah sudah tahu Abi akan melempar pertanyaan itu, "Aku terpaksa dan kau juga harus merahasiakan hal ini. Baik pertemuan kita dan obrolan kita hari ini," tegasnya diakhir.

Ketegangan yang mulai mencair, interaksi mereka mengalir dengan sendirinya membuat Abi berani untuk bertanya lagi dan lagi.

"Kenapa mbak kasih tahu kepadaku?"

Jeda sejenak mbak Dewi gunakan untuk menarik napas pelan, "Aku percaya kepadamu."

Alis Abi bertaut kemudian pandangannya jatuh pada kedua kaki wanita itu yang dibungkus rapi oleh selimut petak, bertengger tepat di atas kursi roda.

"Mbak benar-benar gak bisa berjalan atau..."

"Aku lumpuh, kedua kaki ini sudah tidak bisa berfungsi lagi," potong mbak Dewi cepat yang membungkam bibir Abi untuk bertanya lebih lanjut selain sebuah kata 'maaf'.

Mbak Dewi menggeleng, "Tidak apa-apa dan jika kau bertanya alasannya, mungkin akan sedikit panjang," kemudian tersenyum sebelum lanjut bicara.

"Seperti kataku tadi, kau cukup memasang telinga dan aku yang akan berkisah," setelah berkata seperti itu dan tanpa menunggu respon dari Abi, wanita itu memulai kisahnya.

Rautnya yang datar ia tampilkan saat kata demi kata mengalir keluar. Sangat rinci dan terkesan blak-blakan. Kendati tak mencampur emosi apapun dalam nada bicaranya, Abi bisa membayangkan sendiri dalam benak. Kejadian demi kejadian yang saling terhubung menjadi sebuah peristiwa. Ada saatnya jantungnya berdegup kencang dan ada saatnya Abi ingin menangis, tetapi berusaha menahannya. Tidak etis pikirnya untuk menangisi memori menyakitkan seseorang. Satu pertanyaan terbesit kemudian dalam benaknya, benarkah kisah mbak Dewi sekejam ini? 

"Dia mendadak bisu," Ujang mencengkram kedua pipinya dan menekannya kuat-kuat, melainkan rintihan atau permohonan ampun yang ia dapatkan, hanya tatapan tajam yang menyiratkan kesakitan dalam matanya.

Di sudut ruangan, Sarung menggeleng kuat, "Tidak mungkin, dia pasti berbohong."

"Sejauh mana dia tahu?" tanya Karip sembari tangannya sibuk mengusap lengannya dengan cemas.

Di tengah kumpulan kaki yang mengerubunginya, mbak Dewi terduduk di atas lantai masih dengan mulutnya yang dicengkram kuat oleh Ujang. Tangannya terkepal erat namun tam ada yang yang bisa ia lakukan selain menerima tindakan mereka secara sukarela. Sekiranya dia tahu, semakin dia melawan semakin dirinya akan terluka. Mbak Dewi melirikkan rena ke salah salah satu dari mereka, pria yang sibuk berdiam diri sembari menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.

"Aku tidak tahu, tapi dia mendengar kita kemarin malam," sahut salah satu warga lagi sembari menggaruk pelipisnya.

Mereka semua serempak melirik ke pria yang terduduk dekat meja, terdiam bisu seolah tengah mencerna keadaan.

Pak de Teo yang berdiri tepat diaampingnya angkat suara, "Bagaimana ?"

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang