19. Pengakuan

6 2 0
                                        

"Aku membaca sebuah novel belakangan ini," tahu-tahu Airini berbicara dengan menanggap kalimat Abi sebelumnya bagai angin lalu. Walau sulit baginya untuk mengatur diri, baik tindakan maupun perkataannya.

"Airini, kita tidak ada waktu untuk membahas ceritamu sekarang," ujar Abi yang kini berburu dengan waktu.

"Tapi aku membutuhkannya. Ini penting untukku," Airini memotong cepat dengan pertahanan diri yang kuat untuk tidak menoleh ke arah Abi. Airini takut berakhir menyerah pada tindakannya.

"Kau bisa bicarakan itu kepada temanmu..." ujar Abi yang kemudian terhenti. Menyesali kalimatnya, Abi menoleh ke arah Airini yang tampaknya tak tersinggung dan malah lanjut bicara. Sial, Abi melupakan fakta bahwa Airini tidak mempunyai teman di desa.

"Pemeran utamanya adalah seorang gadis. Dia berasal dari kampung kecil tapi memiliki cita-cita yang besar. Singkat cerita, dia ingin berkuliah ke luar negeri. Menjadi sukses dan memiliki uang yang banyak. Mimpinya adalah untuk menguasai dunia."

Abi sudah ingin menyela cerita Airini dengan mengatakan, 'Hal seperti itu tidak akan terjadi di dunia nyata' tapi Abi menahan diri untuk mengomentari cerita yang ia anggap klise itu.

Airini menerawang pada langit-langit, tanpa ada yang menyadari, tangannya meremas ujung bajunya dengan kuat, "Tapi orang tuanya mengekangnya, menyuruhnya untuk berhenti bermimpi dan bekerja di dapur saja. Orang tuanya menyuruhnya untuk menguasai dapur bukan dunia." 

"Aku tidak memintamu untuk bercerita tentang novel tidak masuk akal itu," pertahanannya runtuh, Abi lepas kendali. Dalam benaknya, ia benar-benar tidak mengerti apa tujuan Airini menceritakan hal ini kepadanya. 

Mengira Airini akan tersinggung dengan kalimat tajamnya atau bahkan melemparinya dengan cangkir kaca di atas meja, tapi perkiraan Abi salah. Di luar dugaan, gadis itu malah melanjutkan ceritanya yang membuat penyesalan Abi menguap kilat dalam hitungan detik.

"Bisakah kau memberitahuku petunjuk lain lagi? Aku butuh sebuah pemikiran atau alasan untuk membantah ibuku. Selama ini aku menurutinya karena memang itu untuk kebaikanku. Aku ingin menjadi anak yang berbakti, tapi jika berada di jalan yang salah membuatku frustasi," tubuh Airini  membungkuk, menumpuhkan beban kepalanya pada kedua lututnya. Membuat rambutnya menjuntai ke bawah, menutupi sebagain wajahnya. Abi tak dapat melihat ekspresinya sekarang, tapi napasnya tertahan untuk sejenak saat isakan tangis itu terdengar jelas bagi pendengarannya.

"Dengan kau keluar seperti ini, kau sudah melanggarnya. Kau bukan anak yang berbakti lagi," Abi mengutarakan pemikiran realistisnya, sembari renanya meneliti setiap reaksi yang akan Airini tampilkan.

Airini membisu. Tampaknya ia benar-benar menyesal telah bercerita dengan Abi. Melainkan mendapat jalan keluar dari pria itu, kalimat Abi hanyalah seonggok realita yang menamparnya. Abi seakan ingin menarik Airini untuk kembali ke jalur awal, kembali menapak pada jalan yang lurus tanpa lika-liku, yang jika sampai salah langkah mampu membuatnya tersesat. Tapi bukan ini yang Airini mau.

"Jika kau ingin tahu lebih banyak, kau tidak akan bisa berbakti dengan mereka lagi. Aku bukanlah orang baik yang akan memberikanmu petunjuk dengan percuma," ujar Abi kemudian menarik tubuh dari dinding, meninggalkan debu pada punggung kaosnya kemudian membaringkan diri ke atas lantai. Membelakangi Airini, menghalangi akses Abi untuk mengamati ekspresinya lebih lanjut. Abi terdiam dengan pandangan memaku pada sudut jeruji. 

Airini bangkit berdiri kemudian mengusap pipinya pelan, melihat Abi yang tak menaruh minat pada dirinya membuat gadis itu menyerah. Airini mudah untuk bertekad namun tekadnya juga mudah goyah dan runtuh.

"Kau mau tahu akhir dari cerita itu?" tanya Airini tapi Abi masih bergeming, tidak menjawabinya.

"Dia bunuh diri, karena depresi."

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang