13. Kertas Terlipat

5 3 0
                                    

Berbeda dengan Bayu yang terlalu menancapkan fokus pada sesi interogasi terhadap Abi sebagai tersangka, Cahyadi memilih jalur lain. Dengan menjernihkan pikirannya guna memikirkan insiden ini sedari awal, selangkah demi selangkah ia kembali melempar diri tepat pada saat pertama kali ia menginjakkan kaki di desa.

Reka ulang kejadian itu tak lupa ia lakukan setiap malamnya. Sebelum tidur. Tapi semakin memikirkannya, Cahyadi semakin merasa dirinya terperangkap pada terowongan gelap tanpa ujung.

Akhirnya hari ini, Cahyadi kembali pada lokasi kejadian. Sendiri. Tanpa Bayu. Walau sudah mengunjungi tempat ini tiga kali dengan Bayu tapi mereka tak menemukan jejak atau bukti apapun. Semua masih abu-abu.

Rumah itu sengaja dibiarkan kosong sementara waktu setelah insiden, bu Rahayu dan Abi dipindahkan untuk tinggal pada rumah seberang pondok, bersebelahan dengan rumah pak de Teo.

Selangkah memasuki rumah, hanya sepi yang menyambutnya. Sesuai dugaan, tidak ada orang disana dan tempat kejadian masih sama seperti terakhir kali ia berkunjung. Melewati lorong panjang yang mengantarkannya pada kamar pak de Kusno,  Cahyadi memakai sarung tangannya. Jejak-jejak kaki tak teratur masih terlihat di lantai, walau ada tapi tak membantu banyak. Bercak darah juga masih terlihat di pinggiran kasur yang berantakan dan beberapa tempat di area lantai. Cahyadi melangkah maju, melewati kasur dan berhenti pada sebuah meja kayu kecil yang ia yakini adalah meja kerja pak de Kusno.

Sebuah teko berisi air. Sebuah kacamata kerja. Tangan Cahyadi bergerak ke bawah dan membuka area laci. Tak banyak barang disana, hanya sebuah pulpen dan buku catatan yang lumayan tebal. Kemarin, Cahyadi dan Bayu sudah sempat mengecek isinya. Cahyadi kembali membuka lembaran pertama yang berisi pemasukan desa Bunglon, kebanyakan dari gubuk. Kemudian identitas setiap warga dan informasi pribadi mereka.

"Oh, anda datang untuk memeriksa?"

Sebuah seruan kecil membuat Chayadi tersentak kaget dan tanpa sengaja, buku catatan dalam pegangannya jatuh, menimbulkan suara bantingan yang cukup bergema diantara keheningan.

Cahyadi berbalik dan menemukan bu Rahayu berdiri pada ambang pintu.

Cahyadi membungkuk sekali memberi sapaan, "Iya bu."

Bu Rahayu kemudian mengangkat kedua tangannya secara tiba-tiba, "Aku tidak merusak tempat kejadian, aku hanya kembali untuk mengambil bajuku," ujar bu Rahayu seolah sudah sigap membela dirinya sendiri saat dihadapi dengan tatapan meneliti Cahyadi.

Cahyadi mengibaskan lengannya dan tersenyum tipis, "Saya percaya dengan ibu, semua barang masih tertata sesuai tempatnya. Tapi alangkah baiknya jangan datang kesini dulu sampai keadaannya membaik," usul Cahyadi.

Bu Rahayu menangguk, mengucapkan maaf kemudian pamit pergi. Namun sebelum berbalik badan, Cahyadi bersuara kembali yang menahan pergerakan wanita itu.

"Ngomong-ngomong boleh saya tanya satu hal kepada ibu?" Cahyadi berujar membuat bu Rahayu menoleh ke arahnya. Mereka bertatapan untuk sejenak sebelum bu Rahayu menampilkan senyum tipisnya.

"Tentu."

Cahyadi bersyukur wanita itu tak tersinggung dengan permintaannya, apalagi mengamuk seperti hari kejadian. Bayangan-bayangan insiden itu masih menghantuinya belakangan ini.

"Saat hari itu, boleh saya tahu ibu sedang berada dimana?" tanya Cahyadi dengan nada pelan sembari menatap lurus, menghujam kedua rena bu Rahayu.

Di telitinya dengan saksama tapi tak menemukan tanda-tanda mencurigakan, rautnya terlihat tenang, tatapannya tak menajam dan bahunya tak menegang. Alasan Cahyadi menanyakan pertanyaan itu adalah, sebab dari prospek pikirannya, saat pagi hari seorang istri pasti masih tidur dengan suaminya di dalam rumah. Apalagi waktu kejadian kira-kira jam delapan pagi.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang