10. Ketahuan?

7 3 0
                                        

Semua berawal sejak malam itu. Suara pukulan. Pekikan histeris. Tamparan. Bunyi pontang-panting barang yang dilempar paksa. Potongan-potongan memori itu seakan menyedot Abi untuk berputar dalam pusaran tanpa ujung.

Ringisan keluar dari bibirnya, ia mulai terisak dan napasnya sesak. Dalam ambang ketidaksadarannya, sebuah kilat cahaya putih menyambar ditemani suara derasnya hujan, yang melempar Abi kembali pada tonggak realita. Secara paksa.

Kedua rena Abi seketika terbuka, dengan pelipisnya yang basah akan keringat. Dirasakannya, jari-jari tangannya bergetar hebat ketika ia mencoba untuk mendudukkan diri. Masih dengan pikirannya yang berusaha mengembalikan kewaspadaan diri, Abi rasa dirinya mulai tidak waras. Bagaimana bisa...bagaimana bisa ia melihat perawakan seorang perempuan tengah berdiri tepat di hadapannya.

Raut kaget terlukis kental dalam wajahnya. Rena Abi perlahan beegerak untuk mengamati tanpa sadar. Surai hitamnya berhamburan menampar wajahnya saat angin bertiup pelan. Samar-samar kedua  alisnya terangkat ke atas, hidung peseknya mengembang kempis dan mulutnya terbuka lebar. Satu hal yang kembali menarik perhatiannya, kulit seputih susu yang tampak amat bersih itu. Layaknya kulit bayi yang belum pernah terkena sinar matahari. Pengamatan renanya yang menyita beberapa detik itu membuat Abi menyimpulkan satu hal. Perempuan itu tak berusia di atas angka tiga seperti ibu-ibu desa yang lain. Dia...tidak, mereka tampak seumuran. 

"A...aku tidak berniat untuk membangunkanmu, this was an accident," Airini berseru kaget, dengan spontan telapak tangannya terangkat ke atas guna menutupi wajahnya. Kini yang ia utamakan adalah untuk melindungi wajahnya agar pria di depannya itu tak sampai mengenalinya. Kewaspadaan dalam dirinya mulai muncul. Airini tidak mau, hanya karena sikap cerobohnya ibunya juga terkena imbasnya.

"Bukan! Maksudku..." dari sela-sela jari tangannya, Airini dapat melihat Abi yang berdiri cepat membuatnya refleks menghentikan kalimatnya. Benaknya berpikir cepat untuk menghindari situasi itu.

"Bagaimana...kau bisa berada disini?" Abi bertanya sembari mendekatkan wajahnya pada telapak tangan itu.

Melainkan menjawab pertanyaannya, gadis itu malah membuang wajah ke samping kemudian berniat untuk kabur. Tanpa pikir panjang, Abi segera menarik pergelangan tangannya membuat langkahnya tercegat walau tubuhnya sudah setengah berbalik. Sensasi hangat itu menjalar ke tubuhnya, membuat Abi hilang fokus untuk sepersekian detik. Hingga tak sadar kakinya diinjak keras, ringisannya tertahan di ujung tenggorokan. Bahunya didorong kasar membuat Abi jatuh tersungkur ke tanah. Berakhir berguling sebab sisi pinggir sungai yang curam kemudian tercebur ke dalamnya. Mulai dari ranbut hingga pakaiannya, semua terendam air. Ia basah kuyup. Kendati tahu ia telah kehilangan mangsanya, tapi Abi lekas terduduk cepat. Air mulai menitik dari ekor rambut, dagu serta lengan bajunya.

Ia menatap ke arah depan dimana kedua kaki   itu tergopoh-gopoh menjauhinya, dengan gesit tubuhnya melenggak-lenggok diantara pohon yang tumbuh secara acak, seolah dirinya sudah hapal betul tata letak tempat ini. Surai ekor kudanya bergoyang seiring tubuhnya yang hilang ditelan tanah dan gelapnya senja.

Kenapa bisa ada anak perempuan seusianya di desa ini?

---

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Airini disergap kecemasan akut. Hanya karena secuil rasa penasaran, membuatnya bertindak bodoh dengan keluar dari kotak kardusnya itu. Gejolak itu amat kuat, tak kuasa menahannya, yang untuk sesaat menaksa pikiran Airini untuk mengambil keputusan gegabah.

Sebab ini pertama kalinya. Hari ini. Ia benar-benar banyak merasakan hal baru.

Saat itu Airini tengah sibuk-sibuknya berkelana dalam pikirannya, seolah memasukkan dirinya sendiri ke dalam buku cerita yang ia baca. Terlarut ia, seiring jarinya yang terus menyibakkan halaman baru. Senyum tipis-tipis tampil di wajahnya, sesekali keningnya berkerut ketika cerita mencapai klimaks kemudian menggeleng-geleng seperti orang gila di akhir. Sampai suatu suara grasak-grusuk itu kembali. Merebut atensinya dalam dunia tulisan dengan cepat.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang